Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 2)

29 Desember 2022   18:18 Diperbarui: 3 Januari 2023   06:36 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku akan pernah mencapai status yang tidak menyenangkan sebagai 'salah satu orang terbaik' itu di biro. "Tapi tidak ditemukan bukti-bukti kesengajaan, bukan?'

Joko mengangguk ke arah Prima. "Kau saja yang menjelaskan, karena kau ada di sana".

"Menurut para saksi, murni kecelakaan," katanya dengan suara berat.

Mereka mengatakan Ranya Vachel sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk berhenti, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menghindari Banyu. Menurut para saksi mata, Banyu menyeberang dari trotoar tepat di depan mobil Ranya.

Aku kembali menatap wajah cantik di foto itu. "Apa yang dilakukan Ranya di Shanghai ketika itu?"

Giliran Joko Seng yang menjawab. "Visanya sebagai wisatawan."

"Dia sudah kembali ke sana sejak kecelakaan itu?" kataku.

Na mengangguk. "Dia terbang ke sana sekitar enam minggu yang lalu dan tinggal selama enam hari. Kami mengirim Prima untuk membuntutinya."

Prima mengerang. "Enam hari hanya museum dan galeri seni. Dan tidak ada yang pantas untuk dilaporkan selain lirikan sekilas ke patung laki-laki telanjang."

Aku tersenyum. "Tapi kamu tetap mencurigai dia tidak sepenuhnya tak bersalah sebagai penyebab kematian Banyu Putih?"

"Bukan aku," jawab Prima tegas. "Menurutku murni kecelakaan. Yang namanya nahas terjadi, bahkan pada orang-orang seperti kita." Dia menarik napas panjang. 'Hanya saja aku tidak bisa meyakinkan Bos, itu saja."

"Seperti biasa, Prim," kata Joko Seng tenang,
 "kamu mengira aku tidak tahu kalau kamu menganggap aku tidak tahu apa-apa tentang Nona Ranya Vachel. Tapi yakinlah, aku tahu yang kamu tidak tahu."

Prima tertawa sumbang. "Aku tidak bilang begitu, Bos."

"Aku tak tersinggung kalau pun benar kamu berpikir begitu." Joko tersenyum kebapakan, lalu wajahnya menegang saat dia menoleh ke arahku.

"Perjalanan Nona Ranya Vachel kembali ke Cina tidak sepenuhnya tanpa tujuan. Aku ingin tahu apa apa saja yang dilakukannya di sana. Itu tugasmu, Han. Aku ingin laporan tentang semua orang yang dia temui dan ke mana dia pergi." Joko memutar rokoknya dengan jari-jarinya. 'Aku sangat ingin tahu apakah dia mengunjungi kafe yang disebut Zhnggu Lng."

Alisku terangkat. Naga Cina?

"Ada apa dengan kafe itu?"

"Banyu Putih dulu sering mengunjunginya."

Joko membuka laci di mejanya dan mengeluarkan peta jalan Kota Shanghai. Membukanya lebar-lebar di atas meja, dia meletakkan jarinya yang terawat rapi di area jalan yang dilingkari merah. "Tinz Fng. Orang Shanghai menyebutnya Ditsy Fang. Zhnggu Lng ada di sini," katanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di peta.

Aku merekamnya dalam ingatan.

"Tentang Banyu," kataku, "Apa yang bisa kuketahui tentang dia? Apa yang dia lakukan di Tiongkok?"

"Dia tinggal di sana. Bekerja di pos Shanghai. Mengirimkan laporan rutin sampai hari kematiannya."

Hanya itu yang dikatakan Joko, maka aku tidak mengajukan pertanyaan yang gamblang tentang 'laporan rutin' itu. Sebaliknya, aku bertanya, "Apakah ada yang tahu tentang ini?"

Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Setahu kami tidak ada. Tapi, tentu saja, orang-orang tertentu pasti tahu kita memiliki kontak di Cina dan bahwa kita mendapat informasi". Dia tersenyum tipis. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Hanya informasi tentang hal-hal secara umum."

Dasar iblis tua yang pintar membaca pikiran. 

Aku bertanya sambil mengangkat dagu ke arah Prima. "Bagaimana kalau ternyata dia benar? Bahwa murni kecelakaan dan Ranya tidak sengaja menabrak Banyu?"

Joko menatapku dengan tatapan dingin. "Aku yang mengajukan pertanyaan, Han. Tugasmu adalah menjawab pertanyaanku. Tiket pesawat ke Shanghai akan diberikan kepadamu malam ini."

Aku tahu kalimat apa yang harus kuucapkan setelah kata-katanya itu. "Baiklah. Aku permisi, Bos."

Aku bangkit dari kursiku, dan dia mengedipkan sebelah mata. Aku harap kamu menyukai museum, Han," katanya.

Aku keluar gedung menembus malam yang semakin pekat. Di seberang, cakrawala Jakarta diterangi oleh lampu neon terang dari papan reklame dan nama gedung.

Aku berharap misiku telah dipersiapkan dengan baik, karena pada saat itu tampaknya tidak masuk akal sama sekali.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun