"Setelah dipikir-pikir ... oke, deh." Dengan lompatan besar, dia berlari ke arah kedua temannya.
Miko tiba-tiba terpeleset, dan jaring mulai terkoyak, sebagian lepas runtuh. "Tunggu.! Tiga gajah nggak bisa menumpuk di jaring laba-laba."
Tiwi merasa tenggelam, dia terpeleset saat benang-benang terentang sentimeter demi sentimeter, menjatuhkannya ke jutaan penyerang bermata kancing hitam, seperti film horor jelek. Membeku, mata terbelalak, denyut nadinya melonjak setiap detik.
Apa yang merasukinya untuk memanjat jaring laba-laba langsung masuk perangkap seperti burung-burung kecil tadi?Â
Mungkin bisa mencoba mencapai pohon itu. Tapi bukankah laba-laba akan mengikuti mereka ke sana? Lagi pula, di situlah dia pertama kali melihat serangga raksasa itu.
Zaki sedang memanjat beberapa meter darinya ketika benang putus, membuatnya jatuh ke tanah, mendarat di punggungnya sambil erangan. Jantung Tiwi melompat ke tenggorokan saat laba-laba menerkamnya. Dia mengabaikan ketakutan yang melanda dan memaksa diriku untuk kembali turun.
"Tiwi, tunggu!" teriak Miko, meraih lengannya. "Lihat, laba-laba menjauh dari Zak, seperti dia bawa penyakit atau wabah. Lihat!"
Tiwi mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap wajah Zaki.
Zaki menghela napas panjang. Laba-laba mundur dan menciptakan zona penyangga di sekelilingnya.
"Miko bener," kata Zaki. "Balik ke sarang kalian!"
Tiwi menggigit bibir saat melihat Zaki beraksi. Ke mana pun dia melangkah, laba-laba segera berlari mundur, seolah dia adalah Musa yang membelah laut hitam yang hidup. Seakan-akan dia membawa kaleng semprotan anti serangga yang tak terlihat.