Suara Zaki menggema di udara. "Apa itu tadi?"
Tiwi mengangkat bahu. "Mana kutahu. Biasanya kamu leboih tahu, Zak."
"Gue nggak yakin, tapi lebih baik kita menjauh aja." Zaki melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu dan menariknya ke arah yang berlawanan saat laba-laba yang hampir mati itu berbaring terbalik, berkedut dan memekik dengan sangat aneh. Dalam satu gerakan cepat, hewan itu membalik sisi kanan ke atas dan merangkak ke semak-semak.
"Ini benar-benar gila," kata Miko. "Pernah nggak, ketemu laba-laba segede itu?"
Zaki menggelengkan kepalanya. "Nggak."
"Sial," gumam Tiwi, menyeka lendir dari wajahnya dengan lengan kemeja. Dia menarik napas dalam-dalam dan menatap, ngeri, pada benda lengket itu. Jantungnya masih berdebar kencang. Dia menghapus sisa kotoran dengan daun merah marun raksasa, mencoba mengenyahkan laba-laba yang menakutkan itu dari pikirannya.
Zaki menariknya ke dalam pelukannya yang erat, tidak mempedulikan baju yang penuh lendir hijau. "Lu baik-baik saja, kan, Wi?"
"Kepalaku sakit, tetapi aku baik-baik aja. Trims udah nanya, dan maaf udah bikin kalian ketakutan. Aku nggak lihat ada gundukan di antara daun besar."
"Lu yakin lu baik-baik aja?" tanya Miko. "Lu lumayang banyak nenggak cendol ijo laba-laba."
Tiwi memaksakan senyum tersungging di bibirnya. "Aku baik-baik saja. Serius. Malah rasanya aku tambah langsing. "
Tiba-tiba, kicauan burung membuatnya melompat kaget. Berbalik perlahan, dia melihat sekawanan burung kecil terperangkap di jaring raksasa, mengepakkan sayapnya, berjuang untuk bebas. Burung-burung itu terlihat sangat lucu, dan dia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja mengalami nasib yang tidak menyenangkan. "Yuk, kita bantu anak-anak kecil ini keluar. Mereka akan dimakan."
Tiwi melemparkan tongkatnya ke bawahlalu mengangkat tangan saya dan memotong melalui jaring lengket, membebaskan satu demi satu burung biru. Jaring laba-laba yang lengket membuatnya teringat lagi ketakutannya pada laba-laba yang membuatnya bergidik. Namun memikirkan burung-burung kecil yang akan dijadikan mumi dan dihisap sampai kering membuat perutnya  mual.
Zaki meraih burung yang berkoak sambil berbisik, "Tenang. Jangan berontak, boys."
"Kita nggak bisa nyelamatin semua," gumam Miko.
"Lihat aja," kata Tiwi, melepaskan lagi seekor. "Dan kamu tahu, Mik? Kalau kamu membantu kami, itu lebih cepat selesai, deh."
"Baik, jika itu akan membuat kalian berdua bergerak sehingga kita bisa keluar dari sini, gue bantu Operasi Blue Birds Rescue."
Zaki mengulurkan tangannya untuk menarik burung lain yang lemas karena ketakutan dan kelelahan. Dia dengan lembut menarik jaringnya. Siapa yang tahu sudah berapa lama hewan mungil itu ada di sana, mencoba melarikan diri?
Zaki tersenyum sambil mengacak-acak bulunya dan merentangkan sayapnya. Burung itu melesat di atas kepala, menghilang ke langit.
Tiwi tersenyum pada Zaki. Setidaknya ada yang punya hati dan peduli. Mengambil napas dalam-dalam, dia meraih burung lain, menggunakan ujung jari untuk melepas dan mengupas jaring lengket dari bulu, paruh, sayap, kepala, dan kakinya.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Miko menyatakan, "Nah. Yang terakhir udah bebas. Bisakah kita pergi sekarang?"
"Ya, jawab Tiwi. Tangannya terasa lengket seperti sehabis memegang permen rambut nenek di pasar malam. Sambil meringis, dia menyeka telapak tangan ke celana pendeknya dan meraih tongkat dari tanah.
"Kerja bagus, teman-teman."
Celoteh lembut ratusan serangga berdengung bergerak mendekat, datang dari segala arah. Tiwi melihat sekeliling, tetapi dia hampir tidak bisa melihat lebih dari beberapa meter melalui semak-semak yang tidak bisa ditembus. Bulu kuduk dan lengannya berdiri. "Su-suara apa itu?"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H