Pertama kali aku berubah menjadi angsa sepenuhnya karena kebetulan.
Usia pernikahan kami sudah seminggu. Aku berdiri di jendela yang terbuka dengan gaun tidurku, menatap ke seberang atap saat dengkuranmu memenuhi udara ruangan.
Aku hanya mencondongkan tubuh untuk mencium bau rerumputan dan tanah lembap, tetapi tiba-tiba aku terjatuh. Bukan---terbang....
Aku merentangkan tanganku, dan sayap seputih kapas terbentang dari sisi tubuhku. Kakiku rata seperti spatula, dan aku melihat ke bawah ke beranda melalui mata sebesar biji merica.
Malam pertama itu, terbangku belum jauh. Putaran cepat ke ujung jalan, menukik rendah di atas makanan yang dibawa pulang dan orang-orang yang tersesat yang terhuyung-huyung tersandung dari klab malam.
Aku menguji sayapku. Aku jatuh mengelundung tanpa ampun melalui jendela kamar tidur, meninggalkan bulu-bulu yang berantakan di permadani. Kamu mendengus dalam tidur dan menggumamkan nama perempuan lain.
Aku tahu.
Keesokan paginya, saat kamu bersenandung dan mengancingkan baju, kata-kata itu ada di sana, terbungkus di tenggorokanku seperti lagu. Tapi aku tidak pernah bisa mendengarkan, lagi pula, kamu tidak pernah bertanya. Aku membuatkanmu roti bakar abon ayam untuk makan siang. Aku selalu menyukai unggas---aku tidak mengerti mengapa hal itu harus berubah.
Bulan-bulan berlalu.
Aku membiarkan sayap-sayapku membawaku terbang melintasi kota, mengintip kehidupan orang lain. Aku menjadi pandai melihat detail: kerah tidak pada tempatnya, sehelai rambut panjang di bagian dalam singlet, nota restoran mahal, Â
Terbangku semakin jauh.
Pada malam awal musim hujan aku terbang melintasi lembah, keluar ke danau tempat angsa lain berkerumun saat matahari terbenam, bernyanyi parau dan membunyikan klakson. Aku mengangkat kepalaku dan membiarkan diriku bersuara keras.
Suatu kali, rombongan kami terbang bermigrasi sepanjang musim kemarau, terbang ke selatan dalam formasi V kemenangan melewati drone dan senjata pemburu. Selama berminggu-minggu kami menangkap serangga di udara Arktik. Seluruh langit kami kuasai dengan kepakan sayap dan cahaya.
Ketika aku kembali, kamu nyaris tidak mendongak dari ponselmu. Aku bertanya-tanya apakah kamu bahkan menyadari ketidakhadiranku.
Malam itu, ketika kamu berbaring di atasku seberat karung gabah, mataku berkaca-kaca katrena aku bermimpi terbang.
Aku hamil, jika itu adalah kata.
Pada bulan-bulan berikutnya, tubuhku semakin bulat. Kamu memamerkanku kepada tetangga, karena matamu bersinar seperti danau, sangat bangga dengan apa yang telah kamu lakukan.
Aku berhenti terbang ke langit, menjadi terikat pada sarang dan sangat gampang emosi. Aku menyeduh harta kecil di dalam diriku, menanggungnya pada suatu malam secara rahasia, di antara ranting dan semak duri yang berantakan di bagian bawah taman. Kembar, masing-masing pucat dan halus, tidak bisa dibedakan oleh siapa pun kecuali ibu mereka. Aku melipatnya ke dalam pelukan, membawanya kembali ke rumah.
Kamu tidak menyadarinya.
Keesokan pagi, kamu melenggang ke bawah seperti biasa, ludah bersarang di sudut mulut dan parfum perempuan lain di lengan bajumu.
Kamu mengambil kantong teh dari cangkir dengan jari gemuk berlemak.
Aku berbalik ke arah kompor dan dengan tenang mengaduk telurmu.
Bogor, 12 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H