Terbangku semakin jauh.
Pada malam awal musim hujan aku terbang melintasi lembah, keluar ke danau tempat angsa lain berkerumun saat matahari terbenam, bernyanyi parau dan membunyikan klakson. Aku mengangkat kepalaku dan membiarkan diriku bersuara keras.
Suatu kali, rombongan kami terbang bermigrasi sepanjang musim kemarau, terbang ke selatan dalam formasi V kemenangan melewati drone dan senjata pemburu. Selama berminggu-minggu kami menangkap serangga di udara Arktik. Seluruh langit kami kuasai dengan kepakan sayap dan cahaya.
Ketika aku kembali, kamu nyaris tidak mendongak dari ponselmu. Aku bertanya-tanya apakah kamu bahkan menyadari ketidakhadiranku.
Malam itu, ketika kamu berbaring di atasku seberat karung gabah, mataku berkaca-kaca katrena aku bermimpi terbang.
Aku hamil, jika itu adalah kata.
Pada bulan-bulan berikutnya, tubuhku semakin bulat. Kamu memamerkanku kepada tetangga, karena matamu bersinar seperti danau, sangat bangga dengan apa yang telah kamu lakukan.
Aku berhenti terbang ke langit, menjadi terikat pada sarang dan sangat gampang emosi. Aku menyeduh harta kecil di dalam diriku, menanggungnya pada suatu malam secara rahasia, di antara ranting dan semak duri yang berantakan di bagian bawah taman. Kembar, masing-masing pucat dan halus, tidak bisa dibedakan oleh siapa pun kecuali ibu mereka. Aku melipatnya ke dalam pelukan, membawanya kembali ke rumah.
Kamu tidak menyadarinya.
Keesokan pagi, kamu melenggang ke bawah seperti biasa, ludah bersarang di sudut mulut dan parfum perempuan lain di lengan bajumu.
Kamu mengambil kantong teh dari cangkir dengan jari gemuk berlemak.