"Saya tidak tahu. Saya tidak pernah menelepon ke sana."
"Kalau begitu, ikut aku, dan kita akan mampir ke sana. Aku harus pergi ke klinik sebentar. Kamu bisa ikut denganku."
Percikan cahaya muncul di mata Bagas. Dia tidak pernah setakut sekarang. Bahkan tidak malam saat di rumah duka. Tapi tawaran Awang membuatnya merasa sedikit lebih baik. Dokter sepertinya tahu persis apa yang dia rasakan. Mungkin Awang pernah merasakan takut yang sanagt ketika dia masih kecil, makanya sekarang dia mengerti. Bagaimanapun, dia merasa aman bersama Awang. Makhluk itu menghilang saat Awang berhenti, dan sekarang dia merasa aman.
Dari luar, terdengar bunyi keras menarik perhatian mereka berdua. Butuh beberapa detik sebelum mereka menyadari bahwa itu hanyalah suara sebuah mobil, dan semenit kemudian sebelum hati mereka menjadi tenang. Kuntum masuk ke pekarangan.
"Sebaiknya kita bergegas dan pergi ke kantor," kata Awang pada Bagas.
Tapi yang sebenarnya dia maksud adalah sebaiknya mereka pergi sebelum Kuntum melihat bagas. Istrinya telah membuatnya sangat jelas bahwa dia tidak menyukai anak laki-laki itu, Dan Awang tidak melihat perlunya alasan terkait keberadaan Bagas, terutama dengan keduanya hampir histeris. Kuntum bahkan tidak akan bisa memahaminya.
Bergegas ke pintu depan, Awang ingat mobilnya diparkir di samping rumah. Kuntum akan tahu dia masih di sini, kecuali Kuntum mengira dia berjalan kaki ke klinik.
Dai dan Bagas harus pergi sekarang. Anak itu tidak bisa sendirian, jika dia memiliki pemahaman tentang apa yang baru saja dia lalui. Mereka hanya harus berjalan kaki.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H