"'Ya' ayahmu sudah meninggal, atau 'ya', kamu melihatnya?" Awang bertanya, merasa bingung dan berharap yang pertama itu benar.
"Ya, aku melihatnya, dan ya, dia sudah meninggal!" sembur Bagas sebelum kembali menangis.
"Tapi itu tidak mungkin, Nak. Kita berdua tahu itu, bukan?"
Masih menangis, bocah itu mengangguk setuju. Jantung Awang melonjak ketika dia memikirkan sesuatu yang bahkan membuatnya takut.
"Apakah kau melihat ada yang lain selain ayahmu?" Awang bertanya dan merasakan hawa dingin mengalir di punggungnya.
"Tidak, eh  ... ya, memang ada Ada seorang pria berjas hitam."
Saat mata Awang mulai berair, dia buru-buru ke wastafel untuk menyembunyikan wajahnya dari bocah itu. Ini tidak mungkin terjadi!. Awang tidak marah, tapi dia tahu mungkin akan lebih baik baginya jika dia melakukannya. Dia bukan satu-satunya yang melihat sosok itu. Makhluk itu kini juga menghancurkan kehidupan seorang bocah!
"Kurasa sebaiknya kamu di sini dulu sepanjang hari ini, Bagas," kata Awang saat dia akhirnya berbalik dari wastafel.
"Tidak...saya tidak bisa. Saya harus menyelesaikan pengantaran surat kabar."
"Aku akan mengurusnya. Berapa nomor telepon kantor surat kabar?"
"Saya tidak tahu. Saya tidak pernah menelepon ke sana."
"Kalau begitu, ikut aku, dan kita akan mampir ke sana. Aku harus pergi ke klinik sebentar. Kamu bisa ikut denganku."
Percikan cahaya muncul di mata Bagas. Dia tidak pernah setakut sekarang. Bahkan tidak malam saat di rumah duka. Tapi tawaran Awang membuatnya merasa sedikit lebih baik. Dokter sepertinya tahu persis apa yang dia rasakan. Mungkin Awang pernah merasakan takut yang sanagt ketika dia masih kecil, makanya sekarang dia mengerti. Bagaimanapun, dia merasa aman bersama Awang. Makhluk itu menghilang saat Awang berhenti, dan sekarang dia merasa aman.
Dari luar, terdengar bunyi keras menarik perhatian mereka berdua. Butuh beberapa detik sebelum mereka menyadari bahwa itu hanyalah suara sebuah mobil, dan semenit kemudian sebelum hati mereka menjadi tenang. Kuntum masuk ke pekarangan.
"Sebaiknya kita bergegas dan pergi ke kantor," kata Awang pada Bagas.
Tapi yang sebenarnya dia maksud adalah sebaiknya mereka pergi sebelum Kuntum melihat bagas. Istrinya telah membuatnya sangat jelas bahwa dia tidak menyukai anak laki-laki itu, Dan Awang tidak melihat perlunya alasan terkait keberadaan Bagas, terutama dengan keduanya hampir histeris. Kuntum bahkan tidak akan bisa memahaminya.
Bergegas ke pintu depan, Awang ingat mobilnya diparkir di samping rumah. Kuntum akan tahu dia masih di sini, kecuali Kuntum mengira dia berjalan kaki ke klinik.
Dai dan Bagas harus pergi sekarang. Anak itu tidak bisa sendirian, jika dia memiliki pemahaman tentang apa yang baru saja dia lalui. Mereka hanya harus berjalan kaki.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI