Jaka melihatku di bar dan berjalan menuju ke arahku. "Apa kabar, Pak Handaka?" tanyanya dengan ramah.
"Baik, terima kasih," jawabku. "Kedengarannya malam ini kalian sedang bergembira di sini."
Jaka menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Andir. "Andir? Tidak, tidak ada yang istimewa, biarpun dia tak salah juga tentang pelukis tua itu. Dia sama gilanya dengan pemabuk yang tak pernah sadar."
"Siapa nama seniman itu?" tanyaku.
"Nama sebenarnya Bulbul Effendi. Tapi semua orang di sekitar sini memanggil dia Feri Said. Itu nama pelukis yang terkenal yang rambutnya disanggul, pernah dengar?'
Sebuah ide mulai terbentuk di benakku. "Apakah dia pernah turun ke darat?"
"Sekali-sekali," kata Jaka. "Dia turun untuk mengambil bahan keprluan, makanan, dan minuman keras. Tapi dia tidak pernah membuat masalah. Kebanyakan mabuknya di tengah laut."
Jaka mengucapkan selamat malam padaku dan pada Danar lalu berjalan keluar. Saat aku meletakkan gelasku di meja bar, aku melihat ke arah tangga.
Berjalan menuruni tangga dengan menenteng membawa koper, adalah Tuan Syarif ...
Dia memfokuskan matanya yang sipit ke arahku. "Wah, ini kejutan! Apa yang membawa Anda ke bagian dunia ini?" tanyanya.