Steben buru-buru menengguk habis birnya lalu meletakkan gelas di atas meja. "terima kasih untuk minuman," gumamnya. "Aku harus kembali."
Aku memasang tampang kecewa. "Dua juta tidak menarik buatmu?"
"Bukan begitu," Steben membantah. "Siapa yang tidak tertarik uang? Tapi aku tak mungkin membicarakan tentang mobil itu."
Aku menatapnya untuk beberapa saat. Aku tahu bahwa dia tidak akan melewatkan dua juta rupiah semudah itu. "Aku akan memberikan tawaran lain," kataku akhirnya.
Steben menatapku waspada. "Aku mendengarkan."
"Aku bertemu dengan seorang preman bernama Kujang di Warung Emak," kataku. "Dia datang menemuiku karena menjawab panggilan telepon yang dilakukan Emak ke kamu."
"Aku tidak ada sangkut pautnya dengan itu," kata Steben meski terlalu mudah membaca kegugupannya. "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, sobat."
"Aku tahu kamu tahu," kataku. "Tapi yang benar-benar menarik perhatianku, Kujang membutuhkan lebih dari satu jam untuk sampai ke warung setelah Emak menelepon kamu."
"Jadi?" tanya Steben dengan wajah berkerut.
"Artinya Kujang tidak mungkin menunggu di showroom," kataku. 'Tempatmu hanya tiga puluh menit dari warung."