"Aku akan ke sana," dia meyakinkanku, memasukkan kartu itu ke dalam sakunya. Lalu melambai dengan riang saat aku meluncur pergi.
***
Untuk menghormatiku dan temanku sebagai calon potensial kliennya, Steben mencukur klimis brewoknya dan mengenakan baju dengan kerah yang nyaris bersih.
"Aku minta maaf, kawan. Kalau saja kamu datang lebioh cepat, mungkin kamu yang dapat Lexus itu," kataku dengan tampang sedih yang dibujat-buat.
"Maksudmu, seseorang sudah duluan membelinya?" tanyanya dengan mulut melongo.
"Begitulah," kataku dengan tetap memasang wajah sedih. "Dia beli seharga seratus dua puluh juta. Aku rasa yang beli seorang makelar."
"Makelar sialan!" serunya dengan nada jijik. "Aku berani ambil lebih mahal lima juta. Dasar  bajingan!"
Aku menuangkan bir dingin penuh-penuih ke dalam gelas dan menyerahkannya kepada Steben. Dengan nada menyesal, aku berkata, "Yah, sudah begitu jalannya."
Dia menggelengkan kepalanya. 'Terima kasih, Pak." Dia menelan ludah dengan kesal, lalu bergumam, "Sial, padahal aku sudah mendapatkan calon pembelinya. Lumayanlah untuk nambah-nambah modal."
Kembali aku mengisi ulang gelasnya yang tinggal separuh.
"Tapi," kataku santai, "kalau cuma untuk untung mendadak, aku tahu bagaimana kamu bisa mengantongi dua juta sekarang juga!" Aku menjentikkan jari secara dramatis.