Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 49)

8 November 2022   12:14 Diperbarui: 8 November 2022   12:17 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segera setelah aku kembali ke apartemen pagi itu, Tuan Syarif menelepon untuk menemuiku. Dia tampak lelah, khawatir, dan acak-acakan, dan membawa bungkusan amplop cokelat besar.

Dia berdiri dengan mata berkedip-kedip. "Saya mengembalikan foto yang Anda pinjamkan kepada saya."

Aku mengajaknya ke ruang tamu. "Tidak perlu mengembalikannya dulu," kataku. "Anda bisa mempostingnya kepadaku kapan saja. Aku benar-benar tidak terburu-buru."

"Saya tidak ingin foto itu rusak kalau terlalu lama di saya," kata Tuan Syarif malu-malu. "Saya pikir lebih baik saya mengantarkannya sendiri."

Aku mengambil bungkusan itu dan memberi isyarat kepadanya untuk duduk di kursi sofa. "Aku sangat menyesal tentang kecelakaan istri Anda," kataku. "Dari membesuknya ke rumah sakit pagi ini?"

Dia mengangguk. "Masih belum ada perubahan."

Dia melepas kacamatanya dan melap dengan kardigan lusuhnya. "Anda benar-benar sangat baik telah membereskan administrasi rumah rumah sakit kemarin," katanya.

"Hanya itu yang bisa aku lakukan."

Tuan Syarif memijat matanya yang lelah. Dia tampak kecil dan menyedihkan. "

"Saya khawatir, Tuan Handaka," katanya. "Sangat khawatir. Saya menghabiskan sebagian besar waktu pagi di kantor polisi. Tampaknya polisi tidak percaya kalau itu kecelakaan lalulintas biasa."

"Mengapa begitu?" tanyaku.

"Polisi menduga bahwa mobil itu mungkin telah disabotase." Dia menghindari pandanganku dan menatap keluar jendela.

"Tapi mengapa polisi mengira begitu?"

"Saya benar-benar tidak tahu." Nada suara Tuan Syarif terdengar  putus asa. 'Polisi sangat cerdik, Anda tahu. Mereka memberikan info sangat sedikit. Tentu saja, saya telah memberi tahu mereka bahwa itu tidak masuk akal."

Dia menatapku. 'Siapa yang mau mengutak-atik mobil Ria? Benar-benar tidak masuk akal."

""Menurutmu apa yang terjadi?" tanyaku.

'Saya akui sulit untuk menjawabnya." Untuk sesaat senyum bergerigi menghiasi wajahnya yang lesu. "bahwa Ria bukan pengemudi mobil yang handal. Anda tahu, dia agak sembrono. Dia memiliki kebiasaan buruk menyalakan lampu sein kiri dan kemudian berbelok ke kanan. Tetapi hal yang benar-benar membingungkan saya adalah, ke mana dia pergi? Dia hampir selalu memberi tahu saya tentang janjinya, tetapi saya sama sekali tidak tahu ke mana dia pergi kemarin." Jeda sejenak, lalu bergumam ragu-ragu, "Dia tidak mengatakan apa-apa pada Anda di ambulans?'

'Sayangnya tidak. Soalnya, dia baru sadar saat itu. Dia memang menggumamkan beberapa kata, tetapi aku tidak mengerti apa kata-katanya." Bohong seperti ini sangat mudah. "Mungkin dokter bisa membantumu."

"Tidak," jawab Tuan Syarif sedih, "Saya sudah berbicara dengan dokternya. Dia mengatakan bahwa dia tidak mendengar apa-apa."

"Maaf aku tidak bisa membantu lebih banyak," kataku. "Anda mau minum apa? Anda harus minum supaya lebih kuat."

"Eh, tidak. Terima kasih, Tuan Handaka. Saya tidak berani minum, belum sempat sarapam pagi ini."

Aku merasa sesaat melihat Tuan Syarif mengintip dengan pandangan putus asa ke dapur yang kosong. "Yah, kita bisa bisa mengatasi segera," kataku. "Aku bukan chef, tetapi tahu cara memasak."

'Tidak, sungguh, terima kasih. Saya tidak terlalu lapar."

"Bagai mana dengan secangkir kopi?"

"Tidak, tidak perlu, sungguh...."

"Sungguh kebetulan yang aneh, aku muncul pada saat yang sama dengan kecelakaan Nyonya Ria."

"Memang benar," kata Tuan Syarif sepakat. "Faktanya, ketika dokter memberi tahu saya tentang hal itu, saya berasumsi bahwa Anda sedang dalam perjalanan untuk menemui kami,"  dia menunjuk ke bungkusan piguran foto, "untuk mengambilnya."

Aku menggelengkan kepala. "Sebenarnya, aku sedang dalam perjalanan ke tempat seorang gadis teman lama di Bogor Timur."

"Oh, begitu." Tuan Syarif bagai linglung segara bangkit dengan susah payah. "Yah, saya harus pergi. Dan sekali lagi terima kasih atas kebaikan Anda yang luar biasa."

"Tidak mengapa," kataku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Apakah Kartika tahu tentang kecelakaan istrimu?"

"Saya harus mengatakan sesuatu padanya, tentu saja, tetapi dia tidak tahu seberapa parah."

"Apa kata rumah sakit? Ketika aku menelepon, mereka hanya mengatakan bahwa dia dalam kondisi kritis dan harus dirawat di ICU."

Bibir Tuan Syarif bergetar. 'Tampaknya dua puluh empat jam ke depan adalah masa kritis," jawabnya. "Tengkoraknya retak dan tulang dada serta lehernya remuk parah."

Aku mengangguk penuh simpati. "Kalau ada yang bisa aku lakukan, Tuan Syarif, jangan ragu untuk menghubungiku."

Matanya yang sayu berkedip. "Anda sangat baik. Kami menghargai semua yang telah Anda lakukan. Kami berdua."

Ketika Tuan Syarif pergi, aku melihat melalui jendela apartemen. Dia berdiri sedih di trotoar, tampaknya tidak menyadari lalu lintas dan orang yang lewat, tidak menyadari dunia di sekelilingnya.

BERRSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun