Sambil menggigit bibir, Tiwi melepaskna diri dari pelukan Zaki. Dia tidak pernah menunjukkan dirinya cewek yang lemahsebelumnya, dan tidak akan mulai sekarang.
Apakah Flash Bullet sempat mendengar nama pulau terdekat mereka sebelum radio mati? Upaya penyelamatan tidak dapat membuang waktu yang berharga untuk mencari di sekitar pulau yang salah. Nyawa mamanya bergantung pada panggilan itu. Kehidupan setiap penumpang Earth Wanderer bergantung pada komunikasi singkat itu.
Zaki bersandar ke dinding, mengangkat suar darurat oranye. "Jangan khawatir, pemancar aktif. Mereka akan menangkap sinyal dan datang menjemput kita."
Perahu berderit dan mengerang, membuat Tiwi tersentak kaget. Dia embun membentuk lingkaran bening di jendela berkabut. "Di mana Miko?"
"Gue nggak tahu, tapi seharusnya dia udah balik."
Lampu berkedip dan padam. Setiap otot di tubuh Tiwi menegang ketika dia berkedip-kedip, dibutakan dalam kegelapan yang tiba-tiba.
"Ya, Tuhan! Gensetnya mati."
Tiwi berjalan hati-hati dengan meraba-raba di sepanjang dinding sampai jari-jarinya menyentuh pegangan logam.
Dia mengobrak-abrik laci atas, meraba-raba mencari senter, ketika petir melesat membelah langit. Gelombang ombak menghantam haluan dan pecah menimpa geladak bawah dengan momentum dan kekuatan tsunami yang dahsyat.
Dia merunduk saat massa air menabrak jendela depan anjungan, menghantamnya tubuhnya hingga terjungkal. Dia terengah-engah, batuk, dan kemudian terengah-engah lagi. Air dingin sudah sebatas pinggangnya.
Angin menderu melalui jendela yang pecah, menerbangkan rambutnya ke pipi dan menutupi mata. Dia mencengkeram lengan Zaki, membenamkan wajahnya ke dada cowok itu. Tangan Zaki melingkari tubuhnya dengan kuat.
"Rasanya seperti berada dalam adegan film Titanic. Aku tidak ingin mati seperti ini, Zak," katanya, dan merasa agak lucu karena nama Leonardo DiCaprio  di film itu adalah Jack.
Tiba-tiba, dari kegelapan, dengan mengenakan jaket pelampung kuning besar, Miko muncul mendorong pintu dengan dua alat pelampung lagi tersampir di lengannya. Air setinggi pinggang menyembur melewatinya ke geladak, meninggalkan Tiwi dan Zaki dalam buih air asin setinggi mata kaki. Miko menyorotkan sinar lampu senter ke lantai. "Sorry. Udah gue cari ke mana-mana. Gue nggak nemuin papa lu."
Darah Tiwi bagai membeku.
Ya ampun! Di mana papaku? Jeritnya dalam hati.
Dia memejamkan mata tidak ingin memikirkan jawabannya. Menutup wajahnya dengan telapak tangan, dia berharap akan mampu melawan segala rintangan agar mama dan papanya, entah bagaimana akan selamat. Tenggorokannya terasa kering, dan air mata panas mengalir di wajahnya meskipun air dingin membuat pakaiannya basah kuyup. Dia berlutut membawa Zaki jatuh bersamanya, masih tetap memeluk tubuh mungil gadis itu.
Miko melemparkan pelampung ke arah mereka. "Pakai ini ... cepat!"
Keduanya buru-buru memakai jaket pelampung. Kuning cerah menonjol dalam cahaya redup. "Kita berhasil mengirimkan mayday...."
Beringsut mendekat, Mikeobertanya, "Artinya bantuan akan segera datang, kan?"
"Nggak tahu. Radio mati," jawab Zaki. "Nggak selesai komunikasinya. Tapi gue udah nyalain sinyal radio darurat."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H