Bulu di tangan Tiwi merinding saat Earth Wanderer terhuyung-huyung di puncak gelombang setinggi gedung lima lantai. Miring ke depan, perahu layar jatuh di udara seperti lift yang putus dan terjun bebas ke lantai dasar.
Tiwi mengatupkan giginya, mencengkeram kusen pintu sampai buku-buku jarinya memutih. Ketika perahu menabrak lembah samudra, gelombang semburan yang menjulang jatuh menimpa kepalanya. Mendorong kembali helai basah rambut kusut, dia menyeka matanya.
Zaki berjalan terhuyung-huyung lalu memegang kemudi.
Miko berteriak dari balik bahunya, "Lu berdua tetap di sini. Gue nyari Om Kapten."
Tiwi membuka mulut untuk menyatakan bahwa dia ingin ikut, tapi Miko sudah berlari di geladak. Gadis itu menghela napas. "Tunggu, Mik! Aku ikut denganmu!"
Angin kencang menyapu suaranya, dan dia bertanya-tanya apakah cowok itu mendengar suaranya.
Miko berbalik di bawah hujan deras. Pakaiannya yang basah kuyup menempel di badan. Tiwi berlari mengejarnya. Miko mengangkat tangannya dan berteriak, tapi Tiwi tidak dapat mendengar jelas kata-katanya. mengangkat tangannya.
"Apa?" Tiwi balas berteriak lebih keras lagi untuk mengatasi guntur yang memekakkan telinga.
"Gue bilang, lu satu-satunya orang yang tahu cara menggunakan radio." Miko menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya untuk membuat dirinya mendengar.
Kembali Tiwi mengibaskan rambut panjangnya yang menutup wajah. Meskipun dia benci untuk mengakuinya, Miko benar.
"Oke, aku akan mencari bantuan. Temukan papaku." Tiwi melemparkan pandangan memohon terakhir pada Miko sebelum berbalik dan hampir terpelest karena lantai yang licin.
"Gue janji. Gue akan cari sampai ketemu!" Miko berteriak.
Dengan bersusah payah, Tiwi kembali ke ruang kemudi untuk melakukan kontak radio. Ketika dia membuka pintu, Zaki bergegas membantunya masuk. Bersama-sama, mereka melawan angin kencang sampai pintu akhirnya tertutup rapat.
"Aku akan mengirimkan SOS," kata Tiwi terengah-engah karena jantungnya berdebar kencang.
Kilatan petir menerangi langit malam. Tiwi menyalakan radio dan mengambil mikrofon. Dia terlonjak kaget ketika suara guntur menggelegar di atas kapal, seolah-olah seseorang telah melecutkan cambuk kerbau hanya beberapa sentimeter dari telinganya.
Dengan jari gemetar, dia menyetel ke Saluran 16. Suaranya serak saat memaksakan diri untuk berbicara. "Mayday, mayday, mayday! Ini Earth Wanderer. Adakah yang memonitor, ganti?"
Dia mencengkeram gagang telepon erat-erat dengan kedua tangan. "Siapa pun, tolong jawab!"
Tidak ada respon.
Dia melemparkan pandangan ketakutan ke arah Zaki yang sedang melepaskan bajunya yang basah kuyup.
"Lu udah yakin salurannya bener?" tanyanya ke Tiwi. Tatapannya fokus pada interkom.
Tiwi menelan ludah dan mengangguk. Air mengalir dari rambutnya dan turun ke pipi. Dia menempelkan badannya ke dinding kokpit untuk menjaga keseimbangan saat ombak menghantam haluan dengan keras.
"Coba lagi."
Zaki melangkah di belakangnya dan mengusap punggung Tiwi untuk memberi semangat.
Pasti ada yang mendengar kami, pikirnya.
Dia menarik napas dan terus mencoba, berulang-ulang, sampai terdengar bunyi statis radio berderak.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H