Ini tidak terjadi. Itu tidak mungkin terjadi.
Dengan pandangan buram, Tiwi buru-buru bangkit, terbatuk-batuk dan tersedak. Sambil menangis, dia berteriak histeris mengarungi air yang terus mengalir deras. "Tolong! Mama terseret ombak!"
Dia terus mencari dalam derasnya hujan, tapi tidak bisa melihat apa-apa. Jantungnya berdegup kencang, dan ketika sudah bisa bernapas lagi, Tiwi kembali meraung. Dia akan melakukan apapun untuk mamanya tanpa ragu, Â bahwa mamanya akan melakukan hal yang sama untuknya. Mama akan berusaha menyelamatkannya, tidak peduli sekuat apa hujan badai melanda! Tiwi melepaskan ban pelampung merah putih, memanjat pagar, dan memposisikan diri untuk melompat.
Mendadak bahunya ditarik Zaki. "Apa lu udah gila? Turun!"
Lengan cowok yang kekar itu memeluk pinggangnya. Tiwi berjuang melawan cengkeraman besi Zaki saat dia mengangkat tubuh gadis itu, menariknya kembali ke geladak. "Lu gila?" teriaknya mengatasi deburan ombak.
Tiwi melawan sekuat tenaga membuat Zaki hampir kewalahan. "Lepaskan aku! Ombak! Itu ... itu menyapu Mama ke laut. Aku harus menolong Mama!"
"Nggak." Zaki bertahan, menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Lu bakal mati kalau lu nekat terjun."
Tiwi meninju dan menendang, memukulnya dengan keras. Apakah dia tidak mengerti? Itu mamanya di luar sana!Â
"Aku nggak peduli!" Tiwi berteriak marah, selubung air mata bercampur air hujan menelan kata-katanya. "Mama membutuhkanku."
"Tenanglah," bisik Zaki di telinganya. "Mama lu nggak pingin kamu lompat ke laut. Nggak, dia nggak bakalan ngebolehin, lu tahu itu."
Tiwi terus memberontak berusaha melepaskan diri dari pelukan Zaki, tetapi upayanya sia-sia. Tubuhnya akhirnya menyerah sebelum keinginannya tercapai.
Dia berbalik menghadap Zaki. Air menetes dari hidung, dagu, dan rambut keduanya. Sambil menghela napas, Tiwi berbisik, "Tapi Mama ... Mama ... di sana...."
Zaki mencondongkan tubuh ke pagar dan berteriak, "Tante Laksmi!"
Dia menoleh, matanya melebar. "Di mana Miko?"
"Aku nggak tahu." Tiwi memutar salah satu lampu dek langsung ke laut, mengayunkan sinar kuning dalam setengah lingkaran yang semakin lebar. Suaranya yang gemetar menggelegar menembus badai. "Mama? Mama! Miko? Kalian di mana?"
Bahkan jika mamanya atau Miko tidak bisa mendengar suaranya yang ditelan laut yang mengaum, dia berharap mereka bisa melihat cahaya dan mencoba berenang ke arahnya. Angin menerpa wajahnya saat dia berteriak, "Apakah kamu melihat mereka?"
Zaki melindungi matanya dan mencari menembus hujan lebat. "Nggak ada apa-apa."
Tiba-tiba teriakan teredam menembus udara.
"Miko?" Tiwi berteriak.
Kepala Zaki berputar, dan dia menunjuk ke arah haluan. "Di sana."
Sosok yang akrab muncul melalui kegelapan. Itu memang Miko. Dia tidak jatuh ke laut.
Tiwi memegangi dadanya dan menghela napas panjang. Memikirkan apa pun yang terjadi padanya membuatnya dadanya nyeri. Sekarang dia bisa memusatkan seluruh energinya untuk menemukan mamanya.
Tiwi memeluk Miko. Air mata mengalir di wajahnya, dan berbicara di sela-sela isak tangis. "Aku sangat senang kamu baik-baik saja, tapi mamaku--"
Dia mencengkeram kemeja Miko yang basah erat-erat.
"--dan kita harus menemukannya."
"Apa?" kata Miko, terhuyung mundur. "Di mana papamu?"
"Dia ada di ruang kemudi," teriak Tiwi. "Ayo!"
"Kalau datang lagi gelombang gede, pegang apa pun yang tidak bergerak yang dapat kalian pegang." Zaki mencoba untuk berani, tapi dia tidak pernah bisa membodohi teman-temannya. Tiwi melihat ketakutan di matanya.
Sesuatu yang dingin berputar di sekitar pergelangan kaki Tiwi. Air. Memburu masuk dengan cepat.
Dia terkesiap. Papan lantai mengambang: bantal, kertas grafik, dan majalah tumpah ruah di geladak. Bagaimana jika perahu ini tenggelam seperti batu raksasa?
Tiwi terdiam, napasnya tercekat di tenggorokan.
Miko mengguncang bahunya, teror terukir dalam suaranya. "Sial! Kita tenggelam."
Tiwi menatap ketakutannya sendiri tercermin di wajah tegang kedua cowok itu.
"Terus bergerak!" Dia meraih tangan keduanya, dan mereka berlari melawan angin kencang dan hujan. Ketika akhirnya sampai di ruang kemudi, dia membuka pintu dan berteriak memanggil papanya.
Petir menyambar, dan dalam terangnya, dia melihat ruangan kecil itu kosong. Jendela-jendela berderak, dan hujan deras menghantam kaca. Mikrofon menggantung dari radio, hampir menyentuh tanah. Topi umpan pancing papanya meluncur di lantai yang basah.
Tubuhnya menggigil gemetar saat perasaan takut menyelimutinya.
"Papa! Papa di mana?"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H