"Ya, sayang?" sapanya.
Aku memesan secangkir teh dan Mak Ema menyibukkan diri di teko. Dia mendorong cangkir ke arahku dengan ibu jari kotor di piring teh, menumpahkan sebagian isinya. Kemudian mengulurkan lengannya yang gemuk dan berbuku  menyodorkan mangkuk gula ke arahku.
Aku menyesap teh. Jelas telah diseduh selama berjam-jam.
"Sepi sekali di sini," komentarku.
"Kita bikin ramai nanti, sayang," katanya. "Makin malam makin rame."
Aku melihat sekeliling untuk memastikan tempat itu memang kosong, lalu bertanya ragu-ragu, "Aku ingin tahu apakah Mak bisa menolongku?"
Dia mengedipkan matanya genit yang membuatku menggigil jijik.
"Dengan senang hati menolong laki-laki, dong," jawabnya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H