"Apa yang kamu inginkan?" tanya Citraloka dingin.
"Aku sudah lebih sakti sekarang," katanya sambil memeriksa kukunya yang hitam. "Kamu bisa merasakannya, bukan? Mantra sihir memenuhi udara."
Citraloka melenturkan jari-jarinya, dan percikan api biru menyala di tangannya. "Aku akan membunuhmu," katanya.
"Aku juga," kata Chintami, dan percikan api biru menyala di tangannya.
"Kalian tahu?" lanjut Mbah Doko, sama sekali tidak memedulikan kedua penyihir wanita itu, "Aku telah menemukan sesuatu. Sebuah rahasia."
Citraloka menatapnya tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.
"Rahasia apa?" Chintami yang bertanya.
"Rahasia para penyihir," kata Mbah Doko dan segera mulai tertawa. Tawa yang menyakitkan telinga manusia dan hewan, bahkan juga telinga mayat. Mendadak tawanya berhenti dan dia menatap Citraloka, "Dia tahu. Oh, dia tahu. Itu semua salahnya. Dan dia tahu itu semua salahnya."
Chintami menatap Citraloka. "Wat zei hij?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Chintami, Citraloka menuju Mbah Doko. "Apa yang kamu inginkan?"
Dia tersenyum. "Oh, kamu tidak tahu?" tanyanya. "Yang aku mau sangat sederhana. Yang aku inginkan hanyalah kamu, dan dia," menunjuk ke Chintami, "untuk menderita. Itu saja."