"Apa..." ucap Chintami. Lalu semua orang menghilang, hanya menyisakan mereka berdua.
Citraloka pindah ke sisi Chintami dan menggenggam jarinya dengan lembut, mengusapnya dengan ibu jari. Chintami menjadi lebih tenang.
Chintami menatap Citraloka. "Een tot tien, berapa besar masalah yang kita hadapi?" dia bertanya.
Citraloka menatapnya tanpa menjawab.
Tepukan pelan terdengar di seluruh ruangan saat seorang pria masuk ke restoran. Jubah hitamnya terlalu kecil untuk menutupi perutnya yang buncit. Tangannya memegang tongkat dari kayu merah. Tato dengan pola hewan menghiasi sekujur tubuhnya.
"Mbah Doko," desis Citraloka. Kata-katanya menyemburkan bisa. "Apa yang kamu lakukan?"
"Heh heh heh, Citraloka," kata pria itu sambil berjalan perlahan ke meja di depan mereka dan duduk di kursi. "Begitukah caramu menyambutku?"
"Baiklah," kata Citraloka. "Mbah Doko, bajingan bandot tua tak punya malu, apa yang telah kamu lakukan?"
"Wie is zij?"Â Chintami berbisik.
"Bukan siapa-siapa," jawab Citraloka.
"Betulkah?" Mbah Doko bertanya sambil tersenyum samar. "Apakah kamu benar-benar yakin tentang itu? Benar-benar yakin? Benar-benar sangat yakin? "