"Tentu saja dia sudah meninggal," kata Dr. Nasir. Dia menatapku dengan kecurigaan yang tidak disembunyikan.
"Tidak ada keraguan tentang itu?"
"Tidak ada sama sekali. Justru yang mengherankan adalah dia bertahan cukup lama. Anda sadar tidak bahwa Anda sedang melontarkan penghinaan serius terhadap profesionalisme saya--"
"Apa yang terjadi dengan mayatnya?" aku memotong.
Dr. Nasir menatapku sebelum menjawab. "Yah, itu agak aneh," katanya perlahan. "Setelah Anda pergi, Kapten Kuba itu -- siapa namanya?"
"Ernesto," jawabku.
"Ya, Esnesto datang sebagai kepala perwakilan anak buahnya, dan mereka bersikeras bahwa Diego harus dikuburkan di laut."
"Apa memang jadi dikubur di laut?" tanyaku.
Dr. Nasir mengangguk. "Benar. Dia dibawa ke laut dengan kapal pukat dan mereka mengadakan upacara pemakaman."
"Apakah ada orang lokal yang menghadiri pemakamannya?"
Dia berpikir sejenak. "Ya. Pastur dari Serang dan awak kapal pukat."
Sepertinya aku tidak mendapatkan apa-apa, namun aku tetap merasa ada sesuatu yang sangat salah.
Dr. yang biasanya humoris kini cemberut. "Apa sebenarnya maksud dari semua ini? Mengapa Anda begitu tertarik pada Diego?"
"Aku hanya penasaran," kataku.
"Ayolah, Tuan Handaka," kata dr. Nasir mendesak. "Mustahil Anda melakukan perjalanan yang panjang hanya karena penasaran."
"Hanya kebetulan aku lewat Anyer," kataku santai.
Dokter itu tampak tidak yakin dan sedikit kesal. "Saya minta maaf Anda tidak ingin menjelaskan keingintahuan Anda lebih jauh," katanya kaku. "Saya dapat meyakinkan Anda bahwa saya tidak punya kebiasaan menyatakan seseorang sudah meninggal padahal dia masih hidup." Dia memberikan senyum dingin. "Saya memiliki nama baik untuk dijaga."
Aku minta maaf. "Aku tidak bermaksud --"
Kalimatku terpotong dengan kehadiran Danar. "Ada menelepon Anda, Tuan Han."
Ini mengejutkanku. Tak seorang pun kecuali Joko tahu bahwa aku ada di Anyer. Mungkin juga Joko, tapi aku meragukannya. Dia bukan penggemar telepon.
"Siapa namanya?" aku bertanya.
"Aku tidak bertanya," jawab Danar. "sebaiknya aku tanyakan dului."
Dia kembali ke telepon dan saya mendengar dia bertanya. Ketika kembali, dia berkata, "Katanya Namanya David Raja."
"David Raja?" kataku tidak percaya.
"Begitu yang dia bilang."
Aku pergi ke meja bar dan mengangkat gagang telepon. "Halo, David, ini aku, Handaka."
David bukanlah tipe orang yang berbicara dengan kalem, terutama di telepon. Aku langsung mengenali suaranya, tapi terdengar lebih tegang dari biasanya, khawatir, dan lebih seperti ketakutan. Dia berkata dengan terburu-buru, "Han, itu kamu? Dengar, kamu harus--"
Aku menyela. "Dari mana saja kamu?" aku menuntut. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Kamu ada di mana? Mengapa tidak muncul di sini minggu lalu?"
Dia memotong dengan sederet kata-kata dengan terburu-buru. "Kamu harus berhenti mengejarku! Kamu harus melupakan bahwa aku pernah ada, mengerti?"
"Tidak, aku tidak mengerti!" jawabku. "Apa maksudmu, 'melupakan bahwa kamu ada'? Tidak gampang untuk melupakanmu, bro! Kamu lupa kalau berutang banyak padaku? Kalau kamu belum tahu, perusahaan peninggalan keluargaku sudah taka da lagi dan masih mempunyai kredit empat miliar di bank. Bagaimana dengan itu?"
"Apakah uang yang membuatmu khawatir?" kata-kata David terdengar ragu-ragu.
"Oh, sama sekali tidak, kawan!" kataku sinis. "David, kita harus berjumpa---dan segera. Banyak urusan yang harus kita selesaikan."
"Baiklah," akhirnya David berkata setelah diam setengah menit lamanya. "Kita jumpa Minggu pagi."
Ketegasan adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk memaksa David untuk menepati janji. Aku berkata dengan kasar, "Di mana?"
"Di apartemenmu. Aku akan datang sekitar jam sebelas."
Berdasarkan pengalaman panjang dengan David, 'sekitar pukul sebelas' bisa berarti kapan saja, dari pukul dua belas tiga puluh hingga pukul enam malam berikutnya. "Jangan 'sekitar jam sebelas', kataku tajam. Tepat pukul sebelas."
"Baiklah, jam sebelas aku akan ke sana," David berjanji. Dia terdengar lesu dan putus asa, sama sekali berbeda dengan David yang kukenal.
"Bisakah aku percaya janjimu ini?"
"Ya, tapi dengar, han. Kalau kamu memberi tahu siapa pun tentang ini--jika orang lain tahu--aku tidak akan muncul. Mengerti?" Ada semacam keputusasaan dalam suaranya.
Pasti ada situasi yang membuatnya begini, pikirku masam.
"Baiklah, aku mengerti," jawabku.
"Aku serius," dia memperingatkan.
"Aku harap kita berdua serius," balasku dingin. "Minggu pagi jam sebelas, pastikan kali ini kamu menepati janji."
Aku meletakkan gagang telepon dan tercenung menatapnya.
Terlalu banyak untuk mendapatkan klarifikasi situasi dari telepon David. Aku ingat begitu banyak janji yang selalu meleset dengan berbagai alasan. 'Ada sedikit masalah', bahwa 'kesalahan yang tak terduga' (ini alasan favorit David ketika situasi tidak dapat diperbaiki lagi).
Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, lalu kembali ke dr. Nasir.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H