Dia sepenuhnya dalam pelukanku dan aku memeluknya erat. Wajahnya dibenamkan di dadaku, di bahu kaos Topeng Guy Fawkes yang bernoda cat. Aku berhasil tertawa.
"Sekarang sudah betul," kataku.
Dia tertawa juga.
Syukurlah, dia tertawa juga. Dan kami berbalik menghadap lukisan itu.
Air mata masih meleleh di pipinya. Lengannya melingkari punggungku, tanganku melingkari pinggangnya. Kami tersenyum dan melihat lukisan kolaborasi yang kami buat.
"Maafkan aku," katanya, menyeka matanya hingga kering dengan lengan bajunya. "Aku hanya berpikir itu butuh sedikit sentuhan."
"Eh," aku mengangkat bahu. "Aku lupa kalau dispensernya bocor. Sulit untuk mendapatkan melukis air mengalir dengan cat minyak."
"Oh, kamu sudah bagus. Meski aku tak kaget kalua ke sana kakiku melayang. Sapuan kuas paling ceroboh dalam karya ini."
"Mungkin lebih kalau kamu membidiknya dulu. Aku pikir itu menambahkan elemen 3D yang bagus."
"Ya, kamu menangani hal-hal perspektif dengan sangat baik, tetapi robekan itu mengingatkan bahwa pengamat sedang melihat kanvas datar."
"Aku pikir itu berhasil. Mungkin itu akan menjadi gaya lukisanku seterusnya. Elemen dunia seniku. Tiket makan kita. Jangan buang sepatumu samapai kapan pun."