Prima menghela napas lega. Tapi dalam jeda sesaat itu pikiran tentang Nuna kembali merayap di benaknya. Dengan tekad kuat dia melawan depresinya.
Pria kurus memberi isyarat menyuruhnya duduk, dan dia duduk di bangku di dekat dinding.
Dia memperhatikan bahwa tongkang itu sebenarnya adalah rumah perahu yang belum selesai, kasar, dan tidak dicat. Jendelanya tertutup dan berjeruji tebal. Satu-satunya furnitur adalah bangku ini dan satu lagi di seberangnya dengan meja di antaranya. Bau solar dan oli silinder masuk melalui pintu depan yang terbuka dan bercampur dengan udara yang diracuni asap tembakau. Lima batang rokok yang mengepul bukan karena nikmat, Prima memperhatikan. Lebih tepatnya untuk mengatasi rasa gugup. Dia terkesan bahwa orang-orang ini, yang tidak diragukan lagi adalah anggota komplotan Balakutak, harus menhan kegelisahan ini, ketakutan yang nyata ini, di ambang pekerjaan malam itu. Pria ceking itu satu-satunya orang yang tak terpengaruh dengan situasi yang menegangkan itu.
 Prima melirik orang-orang itu dengan rasa ingin tahu. Yang pertama seorang pemuda pucat dengan rambut kemerahan yang tidak rapi dan kacamata berbingkai besar, mungkin pengikut Balakutak yang paling setia. Satunya mirip pebisnis kaya yang licik, sementara yang ketiga berpakaian seperti gelandangan. Yang keempat, pakaiannya necis dan wajah seperti musang, tipe penjahat kambuhan.
Prima dengan cepat melihat pria kelima, mungkin karena, dengan intuisi detektifnya, dia merasakan ancaman khusus yang tidak dapat dipahami.
Pria dengan sosok besar dan tampan itu bersandar di meja. Rambutnya yang dipotong pendek, basah oleh keringat melengkung di dahi lebar yang di bawahnya menantang mata yang menuntut dan penuh ancaman.
Pria kurus, yang jelas-jelas adalah pemimpinnya, melintasi ruangan.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H