Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Topeng Merah (Bab 4)

12 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 12 Oktober 2022   16:32 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri. Ikhwanul Halim

 Prima menghela napas lega. Tapi dalam jeda sesaat itu pikiran tentang Nuna kembali merayap di benaknya. Dengan tekad kuat dia melawan depresinya.

Pria kurus memberi isyarat menyuruhnya duduk, dan dia duduk di bangku di dekat dinding.

Dia memperhatikan bahwa tongkang itu sebenarnya adalah rumah perahu yang belum selesai, kasar, dan tidak dicat. Jendelanya tertutup dan berjeruji tebal. Satu-satunya furnitur adalah bangku ini dan satu lagi di seberangnya dengan meja di antaranya. Bau solar dan oli silinder masuk melalui pintu depan yang terbuka dan bercampur dengan udara yang diracuni asap tembakau. Lima batang rokok yang mengepul bukan karena nikmat, Prima memperhatikan. Lebih tepatnya untuk mengatasi rasa gugup. Dia terkesan bahwa orang-orang ini, yang tidak diragukan lagi adalah anggota komplotan Balakutak, harus menhan kegelisahan ini, ketakutan yang nyata ini, di ambang pekerjaan malam itu. Pria ceking itu satu-satunya orang yang tak terpengaruh dengan situasi yang menegangkan itu.

 Prima melirik orang-orang itu dengan rasa ingin tahu. Yang pertama seorang pemuda pucat dengan rambut kemerahan yang tidak rapi dan kacamata berbingkai besar, mungkin pengikut Balakutak yang paling setia. Satunya mirip pebisnis kaya yang licik, sementara yang ketiga berpakaian seperti gelandangan. Yang keempat, pakaiannya necis dan wajah seperti musang, tipe penjahat kambuhan.

Prima dengan cepat melihat pria kelima, mungkin karena, dengan intuisi detektifnya, dia merasakan ancaman khusus yang tidak dapat dipahami.

Pria dengan sosok besar dan tampan itu bersandar di meja. Rambutnya yang dipotong pendek, basah oleh keringat melengkung di dahi lebar yang di bawahnya menantang mata yang menuntut dan penuh ancaman.

Pria kurus, yang jelas-jelas adalah pemimpinnya, melintasi ruangan.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun