Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Topeng Merah (Bab 3)

11 Oktober 2022   19:00 Diperbarui: 13 Oktober 2022   21:21 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prima menunggu di ujung jembatan. Pada pukul delapan hari sudah gelap, tetapi sungai itu bagai kaca di antara bukit-bukit yang terjal, memancarkan cahaya pucat. Dari jarak dekat, dua orang pria merokok dan mengobrol. Mereka menjauh menghindari kemurungan Prima. Dia mengira mereka membicarakannya selayaknya membicarakan orang mati.

Terdengar bunyi peluit menjerit. Bukit-bukit bergemuruh. Sambil melemparkan rokok mereka ke dalam sungai, orang-orang itu bergabung kembali dengan Prima. Dia mengeluarkan topeng itu dari sakunya, dan menyembunyikan wajahnya di balik penutup merah.

Kereta itu melesat melintasi jembatan, percikan api keluar dari roda-rodanya. Ketika akhirnya berhenti, dengan terengah-engah kedua pria itu melompat ke atas.

 Prima menyandarkan dirinya di sisi gerbong dan melihat mereka muncul kembali, menuntun orang ketiga yang mengenakan topeng merah di atas setelan cokelat polos. Dia mendengar suara serak yang tidak wajar dari balik topeng.

"Aku tidak mengharapkan kalian muncul secepat ini, teman-teman."

Kegembiraan mengusir perasaan gundah dari otak Prima. Tugas mereka kelihatannya akan berhasil. Masduki tidak curiga bahwa dia berada di tangan polisi. Prima juga memperhatikan ketika dia memasuki gerbong kereta para penumpang tidak menyadari pergantian itu. Dia membenci pandangan jijik mereka kepadanya. Sikap Masduki terhadap kehidupan menjadi dapat dipahami. Namun, seiring dengan melajunya kereta, Prima menjadi gelisah. Dia menyadari dia bagai seorang yang memasuki gua gelap tanpa cahaya. Dia harus merasakan jalannya selangkah demi selangkah. Dia harus berjalan membabi buta menuju perangkap yang tak terhitung banyaknya dan fatal.

Akhirnya kereta berhenti karena harus menunggu kerta lain. Meskipun dia tahu bahwa biasanya tidak ada penumpang yang akan naik dari tempat ini, dia menatap dengan cemas dari jendela. Seorang pria berdiri di dekat rel dengan niat yang jelas untuk memasuki kereta. Prima melihatnya menghindari seorang tukang rem, menggenggam pagar dan mengayunkan dirinya agar tidak terlihat. Sesaat kemudian pria itu masuk ke dalam gerbong kereta, berhenti, dan menatap tajam dengan rasa ingin tahu pada topeng merahnya.

Aura sosok muram, dipertegas oleh topi hitam yang ditarik rendah di atas mata. Namun, itu membuat Prima melihat wajah yang tajam dan pucat yang menunjukkan kesan wibawa yang luar biasa.

Setelah beberapa saat, pria kurus itu membungkuk dan berbicara dengan tatapan sinis.

"Kamu pasti seorang penjudi ulung jika dilihat dari wajahmu."

Dia terus menatap seolah mengharapkan jawaban. Apakah sebuah kata sandi yang harus dijawab dengan kode tertentu? Jika demikian, seluruh rencana berantakan saat itu juga.

Prima memusatkan pikirannya dengan susah payah. Satu kalimat tercetrus dari benaknya. Dia menggunakannya secara acak, mencoba meniru suara yang didengarnya di jembatan.

"Tergantung apakah aku memegang kartu as."

Pria kurus itu terus menatap. Jantung Prima berdetak kencang, tetapi akhirnya pria di depannya mengangguk pelan.

"Aku harap kamu jalan-jalan sebentar denganku."

 Prima bangkit dan mengikutinya menyusuri lorong. Dia tidak tahu apakah harus menafsirkan kata-kata itu sebagai penerimaan atau hukuman. Dia mungkin pergi ke tugas yang telah dipilih untuknya, atau---dan dia menyadari betapa mungkin itu---ke eksekusi. Namun dia tidak punya alternatif. Dia harus mengikuti sosok ramping dan menyeramkan ke tempat-tempat gelap yang belum pernah didatangi olehnya.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun