"'Apa itu tadi?' Kaniya menuntut. 'Katakan padaku, Penyihir!' Ujung tombaknya mengarah ke dada penyihir itu."
"Tombak itu bukan sembarangan tombak. Dibuat dari batu bintang dan didinginkan dengan darah musuh Tarumanegara dan Galuh. Tombak yang dengan mudah membelah tubuh musuh seperti daun pisang dibelah pisau. Tapi si penyihir hanya tersenyum. 'Kamu sudah melihatnya, bukan?' katanya."
"'Kamu bohong!' bentak Kaniya sambil mengertakkan gigi."
"'Untuk apa aku berbohong? Tidak punya alasan untuk itu,' kata penyihir itu. "Aku di sini hanya untuk kalungku."
"'Kalung itu telah ada di penjaga istana selama lebih dari seratus tahun,' Kaniya berkata, 'bagaimana itu bisa menjadi milikmu?'"
"Penyihir itu menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. 'Aku sangat ceroboh saat itu,' katanya penuh penyesalan. "Aku sedang punya masalah."
"Kucing itu mengeong mencari perhatian pemiliknya, dan mata penyihir itu membelalak."
"'Di belakangmu!' dia berseru."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H