"Ada keheningan menyelimuti di balairung istana. ruangan. Mereka semua bisa merasakan kebenaran yang dingin dalam kata-katanya."
"Dan kemudian, 'Apa yang kamu minta sebagai upah jerih payah mengobati baginda Raja?' Pandita Bunjangga Manik bertanya dengan suara tercekat."
"'Kalian memiliki sebuah kalung yang sangat tua dan sangat unik. Benda itu disimpan di bilik pribadi Raja kalian. Tiga batu permata hitam dalam bentuk air mata sebagai hiasan. Aku menginginkannya,' kata si Penyihir."
"Ratu hendak membuka mulut akan mengatakan sesuatu, tapi pandita menyela. 'Akan menjadi milikmu,' katanya, 'apapun yang kamu butuhkan untuk membantumu, kami akan berikan.'"
"'Aku mau mandi,' jawab penyihir sambil menggaruk ketiaknya, mencium ujung jarinya dan meringis, 'dan seorang yang membantuku mencari bahan untuk menyembuhkannya.' Dia melihat sekeliling ruangan dan melihat prajurit termuda itu masih berdiri tegak mematung di sana. 'Kamu,' katanya sambil menunjuk padanya, 'siapa namamu?'
"Kaniya,' gadis muda itu menjawab dengan dagu terangkat, seperti yang diajarkan padanya di padepokan tantri."
"'Kaniya,' suara penyihir itu menggema seolah sedang mencicipi nama itu. 'Kamu akan menjadi ajunku dan sebelum matahari sepenggalah besok, kita akan menemukan obat untuk penyakit raja. Sekarang, rayi, "katanya sambil memandang pandita, 'bak mandi dan kalung.'
"'Kalung pembayaranmu akan diberikan setelah Baginda Raja sembuh dari gering,' kata Ratu, 'tidak sebelumnya.'"
"Penyihir itu tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang lama sambil menatap Ratu tanpa berkedip, lalu berkata, 'Jadilah.'"
"Pemandian penyihir telah diatur, dan pakaian baru diberikan kepadanya saat para pelayan berkumpul di sekelilingnya mencuci dan mengepang rambutnya, sementara Kaniya berdiri siaga mengawasi, tangannya mencengkeram tombak."