Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 24)

26 September 2022   10:00 Diperbarui: 26 September 2022   10:12 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Lola menyerbu Rano dan menarik kemejanya. Rano menepis tangannya hingga terlepas dan mendorong Lola hingga terhuyung mundur. Tenaga Lola melemah, napasnya mulai terengah-engah.

Tempik sorak membahana menyemarakkan area bak penampungan air rusunawa. Lola meraung seperti singa yang terluka.

Semua mengejek Lola. Mereka semua mencemoohnya. Gadis tak sanggup bertarung lagi karena kehabisan tenaga.

"Ih!" seorang gadis bocah mencibir menatap bibir Lola yang pecah. Darah mengalir menetes dari dagunya.

Lola melirik gadis kecil yang melihatnya dengan raut jijik. Dia mengusap dagunya dengan telapak tangan hingga menyentuh bibirnya. Telapak tangannya berlumuran darah dan bibirnya terasa nyeri.

Rano diam menatapnya. Tetes air mata mengalir membasahi pipi gadis yang keras kepala itu.

Rano menggelengkan kepalanya dan pergi dengan menenteng embernya yang penuh terisi air.

Febi kemudian mengisi embernya. Dia mengikuti Lola dari belakang saat mereka berjalan pulang.

***

Rano merasakan dadanya sesak dengan rasa puas pada dirinya sendiri saat berjalan pulang. Sesampainya di rumah, dia melihat papanya duduk di luar seperti biasa dengan seorang tetangga. "Bagus," kata ayahnya.

Tetangganya melambaikan tangan padanya. Rano mengangguk dan mencoba mencerahkan wajahnya sedikit dengan tersenyum.

Berjalan ke lorong, lalu ke belakang tempat drum tempat menyimpan air. Menuangkan isi ember dan keluar.

Mama Tolleng berjalan mendekat. Dia hadir di bak penampungan air ketika Rano bertarung dengan Lola. Matanya tertuju pada Rano dan mengacungkan jempol.

"Kamu melakukannya dengan baik. Kamu akan baik-baik saja," kata Mama Tolleng. Tangannya melambai-lambai ke udara memberi isyarat.

Mama Tolleng adalah penyewa baru yang pindah ke unit Tiur beberapa bulan setelah Tiur pindah. Dia punya dua anak. Rano meliriknya, tersenyum dan pergi.

Bini keluar dari dapur umum yang digunakan bersama oleh penghuni rusunawa. Bangunan tanpa pintu dan jendela hanya beberapa lubang ventilasi itu suram dan gelap. Atap seng tanpa langit-langit telah dilapisi jelaga asap dan berubah menjadi hitam gelap. Dinding bukan merupakan perkecualian. Penyewa yang tidak ingin memasak di kamar mereka, terkadang memasak di sana. Dapur lebih banyak digunakan sebagai kandang ayam, beberapa iguana, dan hewan peliharaan lainnya.

"Hei, Mama Tolleng," katanya sambil tersenyum.

"Hai, Mak Mimi," jawab Mama Tolleng.

Bini telah melahirkan seorang putri, Mimi. Orang yang mengenalnya sebelum dia melahirkan masih memanggilnya Bini dan hanya sedikit yang menyebutnya Mak Mimi.

"Hei, Rano," sapanya sambil menyesuaikan gendongannya yang nyaris terlepas dari pinggang.

Dia mengangkat telapak tangannya ke wajah dan mengusap tetesan keringat yang menggenang di jidatnya. Mengeringkan tangan di daster yang kusut sekaligus membenarkan posisi payudaranya.

"Rano berurusan dengan gadis yang tidak berguna itu---" kata Mama Tolleng sambil menunjuk.

"Gadis yang mana?" tanya Bini dan kembali mengencangkan gendongannya. Dia menyesuaikan semua barang yang dia pegang dan berjalan keluar dapur dan menggunakan tangannya untuk menutupi sinar matahari yang menyilaukan pandangannya. "Maksudmu Lola?"

"Ya. Betul. Gadis pembuat onar itu," jawabnya.

"Dia pembuat onar? Benarkah? Aku tidak tahu. Dia sangat baik padaku." kata Bini.

Mama Tolleng tertawa. "Senang sekali rasanya karena dia menemukan lawan yang tepat hari ini. Gadis itu suatu hari nanti akan mencari masalah denganku..." kata Mama Tolleng.

Mama Tolleng sangat senang saat mengatakan itu. Dia meletakkan tangannya di dadanya dan menutup matanya, mengayunkan kakinya ke mana-mana. Bini mendekat ke arah Mama Tolleng.

"Jadi apa yang terjadi hari ini? Cobalah tenang dan jelaskan padaku," kata Bini.

"Rano menghajarnya sampai darah muncrat dari bibirnya."

Bini menggelengkan kepalanya. "Oh," katanya dan berjalan kembali ke dapur.

Dia menatap Mama Tolleng dan menggelengkan kepalanya. Mama Tolleng kembali bergoyang kaki dan mulai berdendang lagu tanpa nada.

Bini menumbuk kentang, sambil sesekali matanya mengarah ke Mama Tolleng. Sebuah suara memanggil Mama Tolleng. Bini melambai tangannya.

"Anakmu harus hati-hati. Lola bisa sangat berbahaya," ucap Bini sambil meludah.

Mama Tolleng meliriknya, mengedipkan mata, lalu mengangkat tangannya ke udara dan berdecak.

Entah mengapa Tuhan membiarkan dia berteman dengan Lola. Yah, kadang-kadang aku melihat mereka bersama. Tapi aku tak khawatir tentang anakku, pikirnya dan menepuk dadanya sambil berjalan pergi.

B ERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun