Sebelum Rano sepenuhnya sadar bahwa setelah itu gilirannya, Lola mengambil embernya dan mendahului Rano, berlari ke arah keran dengan cepat. Rano berjalan mendekatinya dan menepuk pundaknya. Dia berbalik.
"Apa?" bentaknya.
Semua orang menoleh.
"Gadis kecil, giliranku, jadi pergilah," kata Rano dengan gusar.
Lola menatap Rano dan wajahnya merah terbakar emosi yang membara. Jerigen bocah di depan telah terisi dan air mulai meluber.
"Giliran berikutnya maju," kata sebuah suara.
Anak laki-laki itu mematikan keran, mengangkat jerigennya dan menjauh dari keran.
Rano berusaha meletakkan embernya di bawah keran tetapi Lola mendorong embernya dengan miliknya sendiri.
"Apa kamu gila? Aku di sini sebelum kamu. Kamu sengaja cari perkara siang-siang begini, ya?" ujar Rano emosi.
Orang-orang menatap keduanya tanpa berusaha melerai. Mereka tahu bagaimana sifat Lola dan tidak ingin ribut dengannya. Lagi pula, perkelahian selalu menjadi tontonan yang menghibur, dan siapa yang tak suka hiburan?
"Lu kate gue gile? Lu sengaja bikin gue gahar, ye? Gue gahar, nih, gue pengin ngamuk, nih!" Lola mengulang-ulang kata-katanya sampai suaranya terdengar serak.
Rano menjadi gugup.
Abaikan dia. Dia mencoba mencari masalah. Tidak lebih, sebuah suara terdengar di benaknya.
Aku tidak akan mengabaikannya, pikirnya geram. Amarahnya yang nyaris meledak meletus tergambar di wajahnya.
"Lawan gue kalau lu berani, biar gue hajar bokong lu sampai ke Tambun, heh," Lola menggeram dan mengejek Rano.
Lola meletakkan embernya di bawah keran, memutar tuas dan air mulai mengucur. Rano tersadar dari lamunannya dan bahwa antreannya benar-benar dilangkahi membuat emosinya meledak.
Dengan marah Rano meraih ember Lola dan mencampakkannya, lalu meletakkan embernya sendiri di bawah keran. Air mengalir ke dalamnya.
Kini semua orang bersorak-sorai dan berkerumun siap untuk menyaksikan adegan berikutnya. Lola berlari menuju embernya yang tergeletak di lantai tapi kalah cepat dengan Febi.
Febi sudah ada di sana dan mengambil ember tersebut.
"Ada apa?" tanya Lola melihat mimik Febi yang berubah.
"Ya, rusak," kata Febi.
"Sukurin. Lu yang duluan nyari gara-gara. Dia kan duluan datang dari lu," kata seorang gadis.
"Lu kagak usah ikut campur. Dasar lonte," bentak Lola denga muka merah padam sambil menudingkan jari telunjuknya ke gadis itu.
"Lu yang lonte jelek kagak laku. Linggis aja kagak demen sama lu. Jangan-jangan dalem rok lu itu pisang monyet bukan kue apem, bawan lu berantem melulu," jawab gadis itu dengan berani. Mungkin anak buah salah satu preman merangkap germo.
"Gue kagak ada urusan sama lu, gue urusannya sama dia."
Lola menepukkan kedua telapak tangannya dan berjalan menuju Rano, mengabaikan gadis yang mengata-ngatainya. Gadis itu menggumamkan beberapa kata untuk menuntaskan kekesalannya, lalu duduk di atas tembok yang retak.
Rano telah selesai mengambil air dan orang lain menggantikannya. Seharus Febi yang mendapat giliran, tetapi tetapi dia berdiri diam dengan ember yang rusak sambil menatap ke arah Lola.
Lola menarik kemeja Rano dan mendorongnya ke belakang. Rano terhuyung mundur, tapi segera mendapatkan kembali keseimbangannya dan balas menampar Lola. Suara tamparan itu begitu nyaring, membuat semua orang bersorak. Lola melontarkan pukulan pertamanya yang biasanya berhasil mengguncang lawannya, tetapi Rano memblokirnya dan mengiriminya pukulan balasan.
Lola jatuh ke lantai, tapi langsung berdiri lagi meski terhuyung-huyung. Darah menetes dari sudut bibirnya, tetapi gadis itu belum ingin pertarungan berakhir hanya sampai di situ.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H