Janar mengangkat tangannya yang sehat. "Resi, tidak apa-apa. Lenganku yang patah, bukan lidahku."
Keti menahan tawa melihat Resi Umbara menggeleng-kan kepalanya. "Jika terjadi sesuatu, jangan menangis mengiba-iba memohon pada para dewa atau padaku, karena yang Anda butuhkan untuk segera pulih adalah beristirahat, jauh dari segala gangguan."
Resi Umbara menyenandungkan lagu puji-pujian untuk Dewa dan berjalan keluar bilik. Di pintu, dia berdiri dan berbalik, "Anda harus berterima kasih kepada para dewa karena membuat Anda tetap hidup," lalu kembali bersenandung dan menghilang di balik pintu.
"Terima kasih, Batara Wishnu," gumam Janar pelan.
"Kamu berterima kasih kepada dewa?" tanya Keti, sebelah alisnya naik meninggi.
Janar menatapnya bingung. "Aku bersyukur masih hidup. Jadi, ya".
Keti menggelengkan kepalanya. Wajahnya bertambah muram dan kelabu.
"Tidak peduli seberapa banyak kita mencoba menipu diri kita sendiri, sebenarnya kita semua masih hidup karena pria bertopeng itu tidak ingin kita mati. Belum."
Dia menghela napas dengan sedih, "Jika para dewa turun dari atas dan menyelamatkan kita, maka mungkin aku akan berterima kasih kepada mereka. Tapi bukan itu masalahnya.Â
Tidak ada mukjizat atau keajaiban, Aku hampir kalah. Kamu ... kamu hampir mati hari ini, dan ketika aku mendengarmu berteriak seperti itu, rasanya seperti seseorang menusukkan tombak berapi ke dadaku. Aku yakin kita semua merasa seperti itu. Kita benar-benar masih hidup karena belas kasihan pria bertopeng itu, dan itu membuatku sangat ketakutan."
Janar mengulurkan tangannya yang sehat dan membelai wajah gadis itu. "Tapi ada keajaiban. Kita semua masih hidup. Kamu, aku, Ubai, Ganbatar, Palupi, bahkan Resi Umbara. Kita masih bisa bertarung di hari lain."