Awalnya kupikir aku pasti salah lihat, karena ini adalah Sambadi yang sama sekali berbeda. Hilang sudah penjual peralatan pancing yang kumal, jenaka, dan berpakaian lusuh yang kuingat.
Sambadi baru ini tangannya terawatt menggantikan jari-jari yang bernoda nikotin dan kuku yang agak kotor yang pernah kulihat di hotel Marbella. Kumisnya yang acak-acakan telah dipotong dengan presisi Angkatan Sarat. Suara yang sangat halus dan udik sekarang menjadi tajam dan jernih, suara seorang pria yang terbiasa memerintah.
Sambadi Lambo kemudian kuketahui mendapatkan medali kehormatan dalam pembebasan sandera di Papua dan menghabiskan sisa karirnya di salah satu cabang Intelijen Militer yang kurang diketahui umum.
Aku memandang bergantian dari Sambadi ke Joko dengan wajah kosong melompong.
"Saya rasa Anda sudah mengenal Sambadi Lambo," kata Joko. "Dia rekan kerja saya."
Aku berkedip-kedip. "Seorang kolega?"
"Ya. Kami bekerja sama di departemen ini."
Aku menatap Sambadi yang tersenyum padaku.
"Aku tahu. 'Jaring dan benang, kawan'," katanya, dan sekali lagi aku mendengar suara sengau Sambadi Lambo dari Cirebon. Kemudian Sambadi tersenyum lebar.
"Kukira kau pasti mengira aku cukup mengerikan. Aku minta maaf karena harus mendompetmu. Aku harap itu tidak merepotkan."