Janar mengamati tubuh Keti yang bersimbah darah musuh.
"Kamu terlihat cantik dalam balutan warna merah. Segar dan menawan."
Sambil tersenyum masam dan menudingkan pedangnya ke arah kerumunan musuh, Janar bertanya, "Bagaimana kalau kita selesaikan secepatnya?"
"Tentu saja, tapi cobalah untuk tidak terbunuh," jawab Keti sambil mengedipkan mata lalu menyerbu ke gerombolan prajurit yang panik. Janar menyeringai geli sambil menatap Keti. Tak pelak lagi, mau tak mau, dia semakin mencintai gadis itu.
Sambl berteriak panjang Janar bergabung dengannya. Mereka bertarung bahu membahu. Pedang keduanya bagai bernyawa berkelebat menari dengan lincahnya, menyilaukan diterpa sinar surya. Perut-perut terbelah memburaikan usus, tubuh-tubuh terpotong dan teriris, Daging dan tulang terukir tajamnya ujung keris.
Tak lama kemudian, penduduk desa dengan bersenjatakan batu, garu, sekop dan golok bergabung dalam pertempuran. Mereka berjuang dengan penuh semangat untuk mepertahankan rumah dan kehidupan mereka.
Jumlah prajurit pasukan kerajaan segera menyusut dengan cepat. Sebagian yang ketakutan mengambil langkah seribu dan menjauh meninggalkan desa.
Saat mereka sedang bertarung, Ubai berteriak sekuat tenaga. "Hei, mengapa kita membunuh mereka? Aku pikir kita seharusnya hanya melukai mereka, bukan?"
Janar balas berteriak, "Aku tidak akan memberi tahu Rakyan Bagaspati apakah ada yang lebih dari terluka atau tidak," dia berbalik menatap Ubai.
Bibir Ubai melengkung membentuk senyuman licik, "Kurasa aku lebih suka begini." Janar mengangguk dan melanjutkan pertempuran.
Ganbatar berteriak kepada sisa-sisa pasukan yang masih bertahan.