Aku meninggalkan pantatku di Hong Kong. Aku tahu itu bukan begitu seharusnya lirik sebuah lagu, tapi itulah yang terjadi. Hembusan udara dingin yang tak terduga bertiup dari teluk menurunkan suhu jauh di bawah rata-rata untuk sepanjang tahun ini.
Aku tidak siap untuk ini, hanya mengenakan jaket tipis yang kubawa dari Manila. Cukup untuk menutupi pistolku. Pria yang kucari kutemukan pada Jumat malam di Delaney, pub Irlandia dengan masakan Cina. Semuanya mungkin jika kamu tahu di mana mencarinya.
Aku mengendarai mobil sewaanku ke Cyberport Rd. dan setelah beberapa kali berkeliling, menemukan tempat parkir di pinggir jalan satu blok jauhnya.
Aku memeriksa ulang ponselku untuk mencari fotonya, lalu menghapusnya. Tak akan mudah melewatkan pria seberat seratus tujuh puluh lima kilo yang tingginya kurang dari beratnya.
Dia berada di sudut dengan seorang Wanita yang jauh lebih muda. Mereka berdebat. Kecantikannya sungguh menakjubkan dan semakin bersinar saat emosinya membara. Dia itu mengangkat tangan seolah-olah hendak menampar si pria yang menangkap pergelangan tangannya dan memutarnya hingga si wanita meringis kesakitan.
Lalu pria itu melepaskannya, dan si Wanita melangkah mundur dan menuju ke arahku sambal menunduk, mungkin menangis. Saat dia lewat, kehangatan tubuhnya dan harum aroma parfumnya membakar setiap ujung saraf.
Aku pergi menuju ke pria dan berdiri menatapnya.
Dia segera tahu siapa aku.
"Ayo ke luar," kataku.
Dia mengangguk ke arah pintu dan berjalan terhuyung-huyung melewati kerumunan dengan pantat gemuknya berguling dari sisi ke sisi seperti gelombang laut.
Kami duduk di Tesla baru.
"Mobil bagus," kataku
Dia menatapku seolah berkata, kamu takkan mampu.
Ketidaksukaanku berkembang secara eksponensial.
"Siapa wanita itu?" Aku sudah tahu jawabannya.
"Itu dia. Itu sebabnya saya mempekerjakan Anda.”
“Sudah kubilang aku tidak melakukannya kepada wanita atau anak-anak. Kau membohongiku."
“Setiap orang punya harga.”
Aku merasakan bibirnya yang tebal menyeringai dalam kegelapan.
"Dua kali lipat."
“Saya akan memberi Anda setengah sekarang. Setengahnya jika sudah selesai.”
"Tunai."
Tangannya meraih kolong kursi dan menarik tas dengan ritsleting. Membukanya, terdengar seperti plester yang dicabut dari lengannya yang berbulu dan memberiku amplop cokelat tebal.
"Hitung itu."
"Aku percaya kau."
"Jadi, deal?"
"Tidak juga."
Aku merogoh ke dalam jaketku dan menarik pistol dan menjejalkan ujungnya yang beperedam di antara gulungan lemaknya yang lebih baik dalam hal meredam bunyi. Napasnya tercekat, matanya terpejam.
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya.
“Dengarkan baik-baik. Aku punya teman di sini. Mereka akan berjaga-jaga. Jika sesuatu terjadi pada wanita itu, mereka akan menjadikanmu umpan ikan di Aberdeen. Mengerti?"
Dia mengangguk. Apa lagi yang bisa dia lakukan?
Aku meninggalkannya di sana, duduk di atas genangan air kencingnya sendiri.
Aku meninggalkan Hong Kong dengan jiwa utuh.
Bandung, 20 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H