"Anak-anakku baru bisa mengerti, tetapi aku yakin mereka akan menjadi mampu menguasai bahasa Sunda suatu hari nanti, dalam berbicara," jawabnya dalam bahasa Sunda dan tertawa. Cang Kosim mengangguk-angguk setuju.
Beberapa menit kemudian, Suti datang dan menyerahkan dua cangkir teh telur kepada papanya berikut uang kembalian. Papa Rano dan Cang Kosim akan berada di sana hampir sepanjang malam dan terkadang tetangga lain akan bergabung dengan mereka.
Malam itu, Suti tidak ikut menemani papanya di luar rumah. Dia berbaring di tempat tidur sementara Rano duduk dengan mata tertuju pada televisi. Dia telah menyelesaikan tugasnya saat dia mengatur buku-buku ke dalam tasnya, berjalan menuju televisi dan mengklik tombol power dan televisi menyala. Rano berjalan kembali ke tempat tidur dan duduk sementara Suti berbaring telentang.
Suti menggeliat dan mengerang kesakitan. Karena tersiksa, dia terengah-engah dan menyedot udara dengan hidungnya keras-keras. Rano berbalik dan menatapnya. Air mata menetes perlahan dari mata Suti, jatuh membasahi bantal.
"Ada apa?" Rano bertanya.
"Darah," desah Suti sambil mengusap air mata dari pipinya.
Mata Rano menatap sekujur tubuh adiknya. Matanya berputar-putar seperti bulan melintas langit malam membuat orbit sempurna. Suti semakin megap-megap membuat Rano ketakutan adiknya akan mati kehabisan napas. Rano berdiri diam dan mulutnya menganga selama beberapa menit.
"Papa!" teriaknya.
"Ada apa?" Suara Papa bergema nyaring.
Tergesa-gesa Rano mendorong pintu hingga terbuka dan lari keluar.
"Ayo, Papa," teriaknya dengan mata berkaca-kaca saat dia mengintip melalui pintu kecil lorong.