Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 16)

18 September 2022   10:10 Diperbarui: 18 September 2022   10:13 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sudah beberapa tahun mereka tinggal di rusunawa. Kondisi keuangan Papa Rano masih belum cukup kuat untuk memindahkan mereka.

Lelaki itu menderita penyakit misterius yang menghambat aktivitasnya, membuatnya bekerja lebih sedikit dan sebagian besar uang yang dia hasilkan digunakan untuk biaya pengobatan. Bisnis sayuran Mama Rano semakin berkembang. Dia bahkan menyewa lahan kosong tak jauh dari rusunawa yang ditanaminya dengan sayur-mayur. Uang yang dia hasilkan cukup untuk menghidupi mereka berenam anak beranak. Rusunawa telah menjadi rumah bagi mereka.

Usia Rano kini enam belas tahun dan bersiap mengikuti Ujian Nasional. Sedikit demi sedikit, dia telah berhasil mengembangkan kehidupan sosialnya, tentang bagaimana dia berhubungan dengan orang lain.

Kehidupan di rusunawa berjalan seperti biasa dan menyenangkan. Suti yang telah berusia dua belas tahun lebih cerdas dari anak seusianya. Tutur kata dan pilihan diksinya yang bijaksana membuat orang mengira dia seorang gadis remaja. Tubuhnya juga berkembang layaknya putik bunga menjelma menjadi buah menjelang ranum. Kehidupan rusunawa berjalan mulus untuknya, sepertinya dia mampu memadukannya dengan kehidupan sehari-hari kaum elite.

Mama Rano seskali membawa mereka keluar dari rusunawa untuk melihat kehidupan di kota. Mereka akan bersenang-senang di mal yang berbeda setiap kalinya, menonton film dan melakukan kegiatan rekreasi lainnya. Dia ingin mereka tidak terjebak dengan pola pikir anak-anak rusunawa yang sederhana. Dia berharap mereka memiliki semuanya, dua gaya hidup yang seimbang.

***

Setiap kali Rano melihat Linda Sikumbang maka matanya langsung tertuju pada benjol besar di dahinya. Rano berusaha keras untuk menyembunyikan tawanya.

Sudah lebih dari beberapa tahun.

Saat meraup air dari ember besar dengan gayung plastik ke dalam ember kecil, dia diinterupsi dengan suara yang keras. Rano berbalik dengan cepat. Tiur-lah yang menampar Linda ketika dia akan menjatuhkan ember besar berisi piring kotor yang akan dicucinya. Ember itu terlepas dari tangannya dan piring-piring berdenting jatuh berserakan di lantai semen. Sisa-sisa makanan bertaburan ke segala penjuru.

"Berani-beraninya lu nabok gue, cewek sialan!" Linda berteriak sambil memegangi pipinya dengan salah satu telapak tangannya.

Matanya memerah, sementara air dalam ember besar mulai menumpuk dan menunggu untuk menetes perlahan seperti hujan gerimis. Air matanya mulai menggenang, tapi Linda menahannya agar tak tumpah. Suaranya parau saat dia bergegas ke arah Tiur dan terus menggumamkan kata-kata yang tidak bisa diterjemahkan Rano.

"Kau kira kau bisa lolos dengan gampang, hah? Kalau kamu berani macam-macam lagi, aku akan menampar muncung kau sekali lagi. Jangan kau kira aku takut!" ujar Tiur sambil melontarkan sumpah serapah khas warga pemukiman kumuh.

Dia mengisyaratkan dengan melintangkan jari telunjuknya di leher, menunjukkan bahwa dia akan membunuh Linda jika dia mencoba untuk mendekat. Seluruh bagian tubuhnya menggeliat membentuk kuda-kuda sementara tangannya menari-nari di udara.

Rano berdiri dan memperhatikan.

"Hei!" Rano berteriak. Gagang sapu mendarat di punggung Tiur. Gadis itu memekik dan melompat, berguling di lantai ketika satu pukulan gagang sapu kembali hendak mendera punggungnya.

Linda mengatupkan giginya saat dia menyabet gagang sapu ke punggung Tiur, tetapi lawannya tak ingin menyerah, meskipun dia menggeliat kesakitan dan mencoba melindungi tubuhnya dengan tangan. Dia bergegas berdiri dengan cepat, dan saat Linda akan memberikan pukulan ketiga, Tiur segera menangkap gagang sapu itu, memutar jari-jarinya dan Linda memekik kesakitan. Tiur mendaratkan tinjunya ke dahi Linda yang membuat gadis itu terlempar ke lantai.

Buuuk! terdengar suara benturan.

"Gue belom mati!" Linda berteriak dan berbaring di lantai sementara darah mengucur dari hidungnya.

"Ya ampun! Tolong! Tolooong!" Rano berteriak dan tetangga yang ada di sekitar berlari ke halaman belakang tempat perkelahian itu terjadi.

 

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun