"Aku tadi berpikir untuk mampir dan membawa beberapa bunga," katanya. "Biar tempat ini lebih cerah sedikit."
Aku melihat sekeliling ruangan. "Memang keliahatannya lebih menyenangkan," aku mengakui. "Bagaimana ibu tahu aku akan kembali hari ini?"
"Aku lagi berberes tadi pagi waktu Nona Ratna menelepon memberi tahu," jelas Bu Sulis. "Dia bilang dia mendapat pesan dari Bapak."
Aku mengangguk spontan dan mengambil setumpuk surat. Sebagian besar tampaknya merupakan brosur iklan yang disusupkan pengelola apartemen ke bawah pintu. "Ibu baik sekali," gumamku.
Meski terkesan cerewet, dia sebenarnya hanya ingin lebih ramah.
"Aku sudah membuatkan teh hijau," lanjutnya. "Aku pikir Bapak seharusnya minum the hijau yang menyehatkan dan membuat tubuh segar."
"Aku rasa aku baik-baik saja," jawabku. "Ada pesan masuk untukku, Bu?"
"Ya," katanya, dahinya berkerut mencoba mengingat-ingat. 'Tuan Joko Seng menelepon tiga kali. Panggilan terakhir hanya setengah jam sebelum Bapak datang."
"Joko Seng?" tanyaku. "Hmm, bukan nama yang aku tahu. Ibu yakin yang Ibu dengar Namanya begitu?"
"Hmm!" Bu Sulis mengangkat alisnya. "Pak Handaka," katanya dengan penuh semangat, "pernahkah aku salah ngasih nama?"
'Tidak pernah," jawabku jujur. "Apakah dia mengatakan siapa dia dan apa yang dia inginkan? Aku harap dia tidak mencoba menjual sesuatu kepadaku."