Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 13)

17 September 2022   16:52 Diperbarui: 17 September 2022   17:00 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku kembali ke Jakarta dengan amarah yang meluap-luap. Bukan hanya gara-gara kehilangan dompet yang berisi uang dua juta.

Danar Hadi yang bersimpati pada nasib sialku menerima pembayaran tagihan hotel dengan check, bahkan membantu menguangkan yang lain untuk keperluan perjalanan pulang. Dengan mempertimbangkan keadaan keuangan saya saat itu, dia mengambil risiko besar lebih daripada yang dia sadari.

Jaka langsung diberitahu, mengambil keterangan lengkap dan meyakinkanku bahwa dia akan menyelidiki masalah ini. Ini jelas akan lebih diprioritaskan daripada anjing yang hilang, ternak yang tersesat, dan pelanggaran parkir ringan. Semua akan dikesampingkan sampai dompet Tuan Handaka ditemukan. Akibat pencurian ini seluruh warga Anyer akan menjadi tersangka kriminal.

Dalam suasana hati yang lebih serius, aku menganggap posisiku sendiri tidak menyenangkan. Aku dikejar-kejar debt collector yang mengantre untuk memerasku sampai kering. Bisnisku berantakan dan hampir bangkrut. Kalau dijadikan lagu, ini lagu dangdut tentang seorang lelaki yang terpesona, lalu diputuskan, patyah hati, dan nyaris gila.

Saat melaju di jalan tol, aku mempertimbangkan aset yang kumiliki. salah satunya adalah BMW 320i yang menderu perlahan di bawah tanganku menuju BSD. Setidaknya harganya sekitar seratus lima puluh juta dan akan menjadi yang pertama pergi. Apartemen tepi danauku yang nyaman akan berganti dengan studio di pinggiran Jakarta Timur atau Bekasi. Aku harus menyembunyikan taringku sedalam-dalamnya sampai tak terlihat. Atau, bisa saja aku seperti David Raja dan mencari korban mangsaku sendiri.

Dengan humor sinis yang tidak menjanjikan inilah, menempuh jarak tiga ratus kilometer dan banyak minum aku mencapai Jakarta.

Tanpa membuang waktu lagi aku menjual BMW 320i seharga seratus empat puluh juta. Dealer telah menawari seratus dua puluh, tetapi aku bertahan diharga seratus empat puluh. Akhirnya kami sepakat di seratus tiga p[uluh setelah tiga puluh menit obrolan. Aku kemudian naik taksi pulang ke apartemenku.

Bu Sulis, perempuan paruh baya yang sehari-hari membereskan tempatku, sibuk dengan tugas-tugasnya. Perempuan gemuk dan keibuan yang mengbadi padaku dengan pengabdian dan dudah kuanggap seperti ibuku. Dia berpikir sudah saatnya aku mendapatkan seorang gadis untuk mendampingiku sebagai istri. Kuakui, kadang-kadang aku pun berpikir demikian.

Aku perhatikan bahwa ruang tamu sangat bersih dan Bu Sulis Gim menempatkan beberapa bunga segar di dalam vas. Dia menghentikan serangan kain lap ke meja televisi dan menoleh padaku. "Selamat malam, Pak Handaka. Selamat kembali ke rumah."

"Eh, Bu Sulis,", kataku. "Kok belum pulang jam segini?"

"Aku tadi berpikir untuk mampir dan membawa beberapa bunga," katanya. "Biar tempat ini lebih cerah sedikit."

Aku melihat sekeliling ruangan. "Memang keliahatannya lebih menyenangkan," aku mengakui. "Bagaimana ibu tahu aku akan kembali hari ini?"

"Aku lagi berberes tadi pagi waktu Nona Ratna menelepon memberi tahu," jelas Bu Sulis. "Dia bilang dia mendapat pesan dari Bapak."

Aku mengangguk spontan dan mengambil setumpuk surat. Sebagian besar tampaknya merupakan brosur iklan yang disusupkan pengelola apartemen ke bawah pintu. "Ibu baik sekali," gumamku.

Meski terkesan cerewet, dia sebenarnya hanya ingin lebih ramah.

"Aku sudah membuatkan teh hijau," lanjutnya. "Aku pikir Bapak seharusnya minum the hijau yang menyehatkan dan membuat tubuh segar."

"Aku rasa aku baik-baik saja," jawabku. "Ada pesan masuk untukku, Bu?"

"Ya," katanya, dahinya berkerut mencoba mengingat-ingat. 'Tuan Joko Seng menelepon tiga kali. Panggilan terakhir hanya setengah jam sebelum Bapak datang."

"Joko Seng?" tanyaku. "Hmm, bukan nama yang aku tahu. Ibu yakin yang Ibu dengar Namanya begitu?"

"Hmm!" Bu Sulis mengangkat alisnya. "Pak Handaka," katanya dengan penuh semangat, "pernahkah aku salah ngasih nama?"

'Tidak pernah," jawabku jujur. "Apakah dia mengatakan siapa dia dan apa yang dia inginkan? Aku harap dia tidak mencoba menjual sesuatu kepadaku."

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun