Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 21)

17 September 2022   07:51 Diperbarui: 17 September 2022   07:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Prajurit yang tersenyum dan bergerak maju untuk menerima penawaran yang menggoda dari Janar, tetapi langkahnya goyah dan mendadak mundur ketika tatapan tajam menusuk dari rekannya menghunjam dalam-dalam ke matanya.

Sambil menggelengkan kepalanya kesal dengan pasangannya, prajurit itu melenguh. "Saya tidak peduli dengan barang dagangan Anda bagus atau tidak, kisanak. Saya ditugaskan untuk melarang siapa pun masuk ke Tudung Tenuk ini. Saya harus meminta Anda untuk kembali."

Janar membungkuk malu-malu. "Aku dan istriku telah melakukan perjalanan jauh sampai ke Padang Lawas, dan sekarang kami pulang ke Tudung Tenuh, tanah kelahiran kami tercinta. Kami hanya meminta Anda untuk mengizinkan kami masuk. Kami telah bepergian selama berbulan-bulan. Kuda-kuda perlu istirahat dan air. Aku dan istriku perlu makan dan mengistirahatkan tubuh litak kami."

Penjaga yang ramah memandang mereka dengan tatapan penuh belas kasihan. "Saya serius, kisanak. Kami tidak dapat membiarkan Anda masuk. Anda harus tahu bahwa desa ini penuh dengan penyakit menular dan kami harus mengambil... ehm, tindakan ...yang tepat. Tindakan untuk menahannya."

Janar dan Keti saling bertukar pandang. Keti mengendarai kudanya ke depan dan mencondongkan tubuh sambil memegangi wajah penjaga itu. "Dan tindakan apa yang akan kalian kamu ambil?" dia bertanya.

Pengawal gerbang itu menelan ludah di tenggorokannya dan menatap tanah dengan gugup. Rekannya mencibir padanya, menggelengkan kepalanya dan bergumam "anak bawang." Dia maju dan berdiri di depan rekannya, lalu menodongkan tombaknya ke arah Keti. "Tindakan yang akan kami lakukan bukan urusan kalian. Sekarang, saya akan meminta kalian untuk pergi atau kalian akan menerima akibatnya!" katanya dengan suara keras.

"Aku akan memotong tangan kalian sebelum kalian membakar desa berserta seluruh isinya,"desis Keti marah.

Kedua pengawal itu membeku karena terkejut. Janar mengambil kesempatan dari kejadian itu, memberikan pukulan ke rahang penjaga pertama. Pria malang itu terlontar ke belakang dan terhuyung-huyung hampir jatuh terjengkang. Sementara dia berjuang untuk tetap berada di atas dua kakinya, Keti menarik tali kekang kudanya dengan seluruh kekuatannya. Kuda itu meringkik liar dan mengangkat kaki depannya udara, menendang kepala penjaga yang menodongkan tombak ke Keti. Penjaga itu langsung terjatuh berdebam ke tanah tak sadarkan diri. Temannya yang ramah menjadi kecut dan melemparkan tombaknya ke tanah, berlutut mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Tolong, jangan sakiti saya. Saya belum pernah membunuh siapa pun," dia memohon dengan kedua tangan menangkup di atas kepala. "Saya punya seorang istri yang sedang hamil tujuh purnama dan seorang putri yang masih merangkak. Jangan jadikan istri saya seorang randa muda yang harus menghidup dua anak yatim tanpa bapak. Jangan bunuh saya, saya hanya ikut perintah," serunya mengiba sambil menangis. Ingus mengalir dari lubang hidungnya.

Keti dan Janar menatapnya bingung lalu bertukar pandang. Keti menghela napas panjang.

"Berambuslah dan jangan pernah kembali."

"A-aku boleh pergi?" katanya tak percaya dengan pendengarannya. Janar mengangguk perlahan dan pria itu melompat berdiri secara tiba-tiba. "Terima kasih, tuan, terima kasih, nyonya," katanya. Matanya mengungkapkan rasa syukur karena kepalanya masih terhubung dengan badan.

"Para dewa memberkati Anda berdua." Dia menyeka hidungnya yang beringus dengan tangannya dan mencoba menyalami Janar.

Janar mundur dengan jijik. "Pergilah sebelum aku berubah pikiran!"

Pria itu menelan ludah, dan berlari secepat kakinya bisa membawanya.

Sampai kemudian menjelang surya turun ke peraduan, dia masih berlari tanpa berhenti sekejap pun. Orang-orang yang kebetulan melihatnya sekilas pulang ke rumah malam itu, memberi tahu keluarga mereka tentang seorang prajurit yang berlari sedemikian kencangnya, seakan Batara Yama sedang mengintai lehernya.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun