Suasana mendadak menjadi suram. Wajah-wajah berubah muram.
Keti tercengang oleh perhatian yang tulus di matanya. Perhatian yang sama ada di mata mereka masing-masing.
Dia menghela napas dengan tampang sedih. "Ada seorang gadis kecil yang datang kepadaku. Dia bilang kakaknya ditahan oleh---"
"Kami sudah tahu itu. Bocah itu datang dan menceritakan semuanya. Dia melakukannya karena takut," potong Ganbatar. Yang berdiri santai memperhatikan teman-temannya dengan tenang. Namun semua dapat merasakan aura kemarahan yang terpancar darinya.Â
"Itu bukan yang ingin kami ketahui. Aku, kami ... kami ingin tahu kenapa kau pergi begitu saja tanpa memberitahu siapa pun. Kau sudah tewas kalau Janar dan Lupi datang terlamabat atau salah satu penduduk desa tidak memberi tahu kami bahwa kau berlari ke hutan bersama seorang gadis kecil.Â
Kau melakukan hal yang sama saat pertama kali kita datang ke sini, menunggang kudamu tanpa memberi tahu kami atau menyusun rencana. Apakah kau sangat ingin mati atau memang kelakuanmu selalu kekanak-kanakan? Selama masih terbuat dari daging dan darah, kau bukannya tak terkalahkan dan hidup selamanya."
"Tidak apa-apa," Janar memelototi Ganbatar dengan marah. "Kamu sudah cukup bicara. Ketika dia siap untuk terbuka kepada kita, dia akan melakukannya."
Keti menepuk lengan Janar. "Tidak apa-apa. Kamu benar. Kalian semua," katanya sambil memandangi para begal satu per satu. "Aku seharusnya memberitahu kalian jika aku akan menyerang. Aku terbiasa melakukan hal-hal dengan caraku sendiri, bahkan ketika aku masih tergabung dalam kelompokku dulu. Ada hal-hal yang hanya bisa kulakukan sendiri tanpa bantuan. Aku terbiasa menangani hal-hal sendiri."
Dengan susah-payah, dia berupaya untuk duduk, kemudian menatap mata mereka satu persatu tanpa berkedip.
"Maaf," katanya dengan tegas. Dia berbalik menghadap Janar dan Palupi. "Terima kasih telah menyelamatkanku. Akau ada terkubur dalam tanah jika kalian tidak datang tepat waktu untuk menyelamatkanku."
Janar menggenggam tangan Keti sambil tersenyum masam. Palupi mengangguk dan membelai punggungnya.
"Dan untuk menjawab pertanyaanmu," dia menatap Palupi, "pertama kali aku sampai di sini, maksudku sebelum kalian semua bertemu denganku, aku sudah mengalahakan beberapa prajurit kerajaan. Dan aku hampir terbunuh."
Dia mengedarkan pandangannya, melihat wajah-wajah dengan dahi berkerut tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun, maka Keti melanjutkan kisahnya.
"Ada seorang pria bertopeng berdiri di gubuk. Dia menembakkan anak panah ke arahku dan panah itu berjarak kurang sejari dari wajahku. Aku balas membidikkan anak panahku padanya, tapi prajurit lain mengalihkan perhatianku sebelum aku bisa melepaskannya. Saat aku kembali padanya, dia sudah pergi. Seakan-akan dia tidak pernah ada di sana sejak awal dan aku tidak dapat menemukannya setelah itu".
"Kamu baru memberi tahu kami sekarang?" tanya Palupi dengan nada kecewa.
"Maafkan aku. Aku tidak ingin membebani kalian dengan masalahku. Aku berencana untuk memancingnya kemudian dan menyelesaikan pertarungan kami yang belum selesai," kata Keti muram.
Ganbatar menghela napas panjang. "Jelas itu bukan cuma masalah kau. Masalah kau adalah masalah kami. Masalahku adalah masalah kau juga. Kita merupakan satu kesatuan. Jalina yang lebih kuat dari lidi yang diikat menjadi sapu."
Keti mengangguk dan tersenyum. Namun senyumnya segera menghilang saat dia teringat sesuatu yang tadinya terlupakan.
"Tapi ada sesuatu yang membuatku takut. Aku merasa dia sengaja memelesetkan anak panahnya. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi saya merasakan aura pembunuh memancar kuat darinya. Aku pikir dia ingin bermain-main denganku."
"Hmmm... jadi kini kita bertemu dengan seorang pembunuh yang kejam. Mungkin saja dia mengirim para begundal itu hanya untuk melihat bagaimana reaksimu," kata Janar.
"Artinya dia pasti bersembunyi di hutan, mengawasi dan menunggu," sela Ubai.
"Demi para dewa, kita harus mencari si manusia bertopeng ke seluruh penjuru hutan!" seru Ganbatar.
Janar menatapnya dengan tercengang. "Apa maksudmu 'mencarinya ke seluruh penjuru hutan'? Hutan itu sangatlah luas!"
"Dan aku sangat meragukan bahwa dia cukup bodoh untuk tetap berada di sana menunggu kita," kata Palupi.
Keti mengangguk setuju. "Satu hal yang pasti, dia akan menunjukkan dirinya lagi dan kali ini kita akan siap untuk menghadapinya," kata Keti penuh percaya diri.
Ubai tertawa dan begal lainnya tersenyum. Keti menatap sekeliling dengan bingung, tidak mengerti alasan di balik senyuman nakal mereka.
"Kamu bilang 'kita'," Janar menjelaskan sambil tersenyum.
"Dan karena sekarang tidak ada lagi rahasia di antara kita, maka semua masalah terselesaikan. Bisakah kita meninggalkan tempat ini dan pergi ke Tudung Tenuk?"
Semua kepala menoleh ke arah suara itu. Resi Umbara si resi dukun yang tadi bagai tak terlihat, berdiri di ambang pintu. Semua mengangguk setuju.
Keti merasakan sebuah tangan meremas jemarinya dan menoleh.
Janar menatapnya sambil berkata, "Aku senang kamu kamu selamat."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H