Janar menggenggam tangan Keti sambil tersenyum masam. Palupi mengangguk dan membelai punggungnya.
"Dan untuk menjawab pertanyaanmu," dia menatap Palupi, "pertama kali aku sampai di sini, maksudku sebelum kalian semua bertemu denganku, aku sudah mengalahakan beberapa prajurit kerajaan. Dan aku hampir terbunuh."
Dia mengedarkan pandangannya, melihat wajah-wajah dengan dahi berkerut tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun, maka Keti melanjutkan kisahnya.
"Ada seorang pria bertopeng berdiri di gubuk. Dia menembakkan anak panah ke arahku dan panah itu berjarak kurang sejari dari wajahku. Aku balas membidikkan anak panahku padanya, tapi prajurit lain mengalihkan perhatianku sebelum aku bisa melepaskannya. Saat aku kembali padanya, dia sudah pergi. Seakan-akan dia tidak pernah ada di sana sejak awal dan aku tidak dapat menemukannya setelah itu".
"Kamu baru memberi tahu kami sekarang?" tanya Palupi dengan nada kecewa.
"Maafkan aku. Aku tidak ingin membebani kalian dengan masalahku. Aku berencana untuk memancingnya kemudian dan menyelesaikan pertarungan kami yang belum selesai," kata Keti muram.
Ganbatar menghela napas panjang. "Jelas itu bukan cuma masalah kau. Masalah kau adalah masalah kami. Masalahku adalah masalah kau juga. Kita merupakan satu kesatuan. Jalina yang lebih kuat dari lidi yang diikat menjadi sapu."
Keti mengangguk dan tersenyum. Namun senyumnya segera menghilang saat dia teringat sesuatu yang tadinya terlupakan.
"Tapi ada sesuatu yang membuatku takut. Aku merasa dia sengaja memelesetkan anak panahnya. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi saya merasakan aura pembunuh memancar kuat darinya. Aku pikir dia ingin bermain-main denganku."
"Hmmm... jadi kini kita bertemu dengan seorang pembunuh yang kejam. Mungkin saja dia mengirim para begundal itu hanya untuk melihat bagaimana reaksimu," kata Janar.
"Artinya dia pasti bersembunyi di hutan, mengawasi dan menunggu," sela Ubai.