Terdengar ayam jantan berkokok tanda pagi datang.
Mama Rano membuka mata dan meregangkan seluruh tubuhnya sambil tetap berbaring di tempat tidur. Jendela telah terbuka lebar.
Suaminya sudah pergi pagi-pagi buta. Dia punya pekerjaan sampingan pada hari Sabtu. Tirai biru muda tergantung rapat di sisi jendela.
Dia menoleh keluar jendela. Hari cerah memamerkan keindahan dunia. Matahari mendaki bersinar penuh tanpa terhalang awan.
Tetangganya sedang memarahi anak-anaknya, menjewer telinga anak yang lebih tua.
"Gue kata jangan. Jangan ke sono, tapi lu kagak mau denger omongan Enyak, Jenap," salaknya. Dia menyebut "Zainab" dengan intonasinya tersendiri, membiarkan lidah lokalnya yang sehari-hari mengolah ikan asin dan semur jengkol ikut campur.
Adik laki-lakinya melongo menatap ibunya, saat dia memperingatkan kakak perempuannya sambil menuding-nuding sesekali.
Mama Rano menggelengkan kepalanya. Dia membangunkan Suti dan Rano. "Sayang, bangun. Sudah pagi," ucapnya.
Keduanya mengomel sebelum akhirnya bangun.
Suti cepat-cepat keluar dari tempat tidur sementara Rano meregangkan tubuhnya dan tetap berbaring melingkar. Tapi Mama Rano menepuk punggungnya, mengguncang tubuh putranya sebelum Rano akhirnya berdiri selama beberapa menit sebelum keluar dari kamar.
***
"Hei. Hei. Hei!" terdengar suara yang diabaikan Rano dan Suti. Mereka terus berjalan di tempat keran itu berada. Jaraknya beberapa kilometer. Mereka menduga itu tidak ditujukan pada mereka, dan mereka juga tidak cocok untuk menjawab siulan yang tidak perlu.
"Laki-laki dan perempuan," teriak suara itu.
"Kurasa mereka memanggil kita," kata Suti dan menepuk Rano tapi dia menepis tangannya. "Tinggalkan aku sendiri. Jika mereka tidak tahu namaku, mereka harus mengurus urusan mereka," jawab Rano.
Suara itu memanggil lagi dan Suti berbalik. "Kalian memanggil aku?" dia bertanya dengan suara pelan, jelas tidak terdengar oleh mereka, sambil menunjuk dadanya.
Mereka mengangguk dan melambaikan ember mereka, lalu mempercepat langkah menyusul Suti. Napas keduanya terengah-engah sebelum akhirnya bernapas normal.
Mereka menyeringai pada Suti, dan bertiga berjalan bareng menuju bak penampungan air minum. Rano sudah berada jauh di depan. Dia berbalik ke belakang dan melihat Suti tersenyum dan mengobrol dengan mereka.
Sambil menggelengkan kepalanya, dia terus berjalan di depan mereka tanpa berhenti untuk menunggu.
Kedua gadis itu dengan tinggi yang hampir sama dengan Suti. Ketiganya mungkin dianggap sebagai teman sebaya oleh yang melihatnya.
"Siapa namamu?" salah satu bertanya.
"Aku Suti."
"Aku Tiur. Dan dia Talia," jawabnya.
"Nama kalian bagus. Mau ambil air juga?" Suti bertanya meskipun dia merasa pertanyaannya tidak perlu dengan adanya ember di tangan mereka.
"Ya," jawab Tiur.
Talia hanya tersenyum sepanjang jalan tanpa bicara. Dia hanya terkikik sampai terbungkuk-bungkuk setiap kali ada yang lucu. Rano telah mengisi embernya dengan air dan siap membawanya sebelum mereka tiba.
"Ini abangku," Suti menunjuk ke arah Rano yang menghadap mereka.
Mereka tersenyum padanya. Rano menatap mereka dengan cepat dan mengabaikannya.
"Lebih baik kamu buru-buru dan berhenti bermain-main dengan mereka," ujarnya pada Suti dengan tegas.
Dia mengangkat ember dan menggelengkan kepalanya, lalu berjalan pergi.
Mereka semua selesai mengisi ember satu demi satu, dan Tiur meletakkannya di atas kepalanya. Mereka tetap diam saat berjalan pulang.
"Maukah kamu datang ke rumah kami nanti? Kamu bisa bermain dengan kami. Kami ingin menjadi temanmu," kata Tiur.
"Mungkin. Atau kamu bisa main ke tempatku. Mamaku baik, kok."
Mereka tertawa dan terus berbicara dan tak terasa sampai di bangunan tempat mereka dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Tiur dan Talia tinggal di sebuah rumah sederhana yang tidak dicat. Lumut hijau kecokelatan merayap di tembok. Plester pondasi mengelupas dan sebagian besar dinding telah berubah menjadi hitam. Atap seng menjadi cokelat dan tampak tidak menarik. Bahkan sebagian bertiup mengikuti tiupan angin.
Bangunan separuh gubuk itu tak jauh dari rusunawa tempat Suti tinggal. Dihuni oleh seorang perempuan tua yang jarang keluar kecuali sesekali. Anak-anak di situ sering disuruh orang tua mereka untuk membantunya jika dia mempunyai keperluan. Perempuan tertua di komplek itu, tidak punya sanak keluarga. Menurut orang-orang, dia mandul sehingga ditinggal suaminya dan tidak pernah menikah lagi.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H