Ibuku membawa dompet ritsleting dengan kompartemen rahasia dan diamankan dengan tali kareat. Tempat untuk uang kembalian, satu atau dua lembar uang kertas yang digulung, tempat untuk segala sesuatu dan segala sesuatu di tempatnya. Dia akan membawa dompet itu bersamanya bahkan di tempat yang aman, seperti ketika dia mengunjungi orang. Benda itu ikut dari kamar ke kamar dengan dia.
Dompetnya adalah alegori untuk kehidupan yang dipertahankan dari kekalahan, badut tak diinginkan yang melompat keluar dari dalam kotak kayu.
Pelajaran hidupnya selalu-cerita peringatan, dengan kata lain tempat untuk segala sesuatu dan segala sesuatu untuk di tempatnya.
Ayahku, di sisi lain, adalah seorang gelandangan  di masa mudanya. Dia adalah seorang lelaki dengan kecenderungan acuh terhadap rahasia dan bersikap sebodo amat
Ini adalah tasnya yang kubawa. Semuanya bercampur aduk bagai unjuk rasa anarkis dalam karung.
Uang bercampur dengan bungkus permen, potongan tiket yang disematkan pada tisu yang diolesi lipstik atau sambal, dompet yang terkubur di sudut di bawah kotak kacamata.
Ketika aku mencari sesuatu yang sangat kecil di ceruk, (kotak obat, lip gloss, kikir kuku, pisau lipat, klip kertas), jariku pasti terluka dan berdarah.
Aku telah mempertimbangkan untuk membuang tas-tas gelandangan itu: bunga, bordir, tenunan, beledu lembut yang terlipat sendiri seperti tangan menggenggam, dan menukarnya dengan dompet ibuku yang lebih sederhana.
Dompet ibu mempunyai tempat untuk segalanya. Segala sesuatu di tempatnya: ritsleting, kompartemen, saku, yang sudah dikenal tanpa harus meraba-raba.
Aku sudah mencoba membawa dompet seperti itu sekali atau dua kali. Tidak berhasil.
Karena itu adalah dompet ibu.
Bukan milikku.
Bandung, 3 September 2022Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H