Tentu saja, istrinya Halida sangat senang dengan gagasan untuk kembali ke kampung halaman. Dia sudah ingin pindah selama beberapa tahun, dan kesehatan Johar memberi mereka alasan terbaik yang pernah mereka dapatkan untuk membuat perubahan dramatis seperti itu.
Untungnya, mereka telah mempersiapkan masa pensiun sejak hari pertama Johar bekerja, dan mereka berkecukupan secara finansial, terutama untuk kota seukuran Taluk Kuantan yang termasuk salah satu wilayah dengan biaya hidup terendah di Kesultanan Melayu Raya.
Menjalankan kedai runcit di simpang jalan utama membuat mereka hidup dengan santai, mengakrabkan mereka dengan orang-orang di kota, dan memberikan Halida sesuatu untuk dilakukan untuk mengisi waktu yang tidak pernah dapat dia lakukan secara memadai setelah anak-anak meninggalkan rumah.
Mereka tidak bisa terlalu ngotot bekerja secara berlebihan, dan mereka mungkin tak mendapat untung dengan harga jual barang-barang yang sangat murah untuk mencegah orang pergi ke supermarket untuk membeli keperluan mereka. Intinya adalah, mereka bersama, dan suaminya masih hidup.
Suara gemuruh pelan yang tertangkap telinganya saat rak-rak mulai berderak membawa ingatan kembali pada masa kecilnya. Dia telah merasakan satu atau dua gempa kecil sebagai seorang gadis remaja, tetapi gempa bumi relatif jarang terjadi di Kesultanan Melayu Raya, meskipun Hutan Lindung Kerinci berada di garis Patahan Besar Sumatera. Beberapa gempa kuat yang telah diprediksi berkali-kali meluluhlantakkan Negara Bagian Bangkahulu, Persemakmuran Sriwijaya. Beberapa tahun lalu mengguncang pantai Pelabuhan Padang, Republik Minangkabau. Sebelumnya, pantai barat Aceh Darussalam dilumat oleh gempa dan tsunami.
Baru kali ini gempa datang menimbulkan bunyi pada cangkir teh. Sebagian rak kedai bergoyang keras dan beberapa akhirnya roboh. Dia sendiri kesulitan untuk tetap berdiri.
Gempa itu berkekuatan lebih besar daripada yang pernah terjadi di masa lalunya, sama tak terduganya dengan kematian yang bisa saja merenggut nyawa manusia sewaktu-waktu. Kurang dari satu menit, sebagian besar isi rak kedai telah jatuh berserakan ke lantai.
Kepanikan yang dia rasakan perlahan memudar setelah getaran berhenti. Kedai runcit yang dibangun dari bata tua dirancang untuk bertahan berabad-abad. Sirene yang meraung di luar menandakan berita yang tak menggembirakan di bagian lain kota.
Beberapa detik kemudian, dia merasakan lengan Johar memeluknya dari belakang, dan dia tahu semuanya akan baik-baik saja. Untuk sekarang.
***
Di sebuah panti jompo, tujuh puluh lima kilometer di jalan berliku dari Taluk Kuantan, seorang pria berusia sembilan puluh tujuh tahun akhirnya menyerah pada kematian. Kematiannya memang sudah sepantasnya, bahkan dianggap terlambat di mata sebagian besar warga Taluk Kuantan. Konsensus umum adalah bahwa dia seharusnya sudah mati bertahun-tahun lalu, dan dia sudah lama terlupakan dari sebagian besar pikiran mereka.
Warga pendatang Taluk Kuantan yang umumnya religius, menyebabkan keyakinan komunal bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kejahatan seperti itu bertahan di dunia untuk waktu yang lama. Dia adalah kambing hitam untuk segala hal buruk yang terjadi di wilayah mereka. Mereka menganggapnya penyembah Iblis.
Kegilaannya dan ocehannya tentang hantu dan setan menegaskan keyakinan mereka tentang kekufurannya dan memperkuat iman warga yang terbagi menurut mazhab yang dianut.
Salman Rusydi pindah ke Taluk Kuantan pada akhir lima puluhan puluhan untuk bekerja di Pemakaman Umum. Kota itu dengan hati-hati menerima dia dan beberapa anggota keluarganya pada awalnya, tetapi perjalanan pertamanya ke Pucuk telah mengubah itu.
Sebelumnya, dia adalah seorang pekerja keras yang menyendiri, yang menghormati yang meninggal tapi tak takut pada mereka. Pendapat mereka mulai berubah sesaat sebelum dia pertama kali diusir.
Kegiatan Salman yang tidak biasa sebelum dan sesudah perjalanannya ke Pucuk sangat mengganggu para imam mahzab meskipun penduduk kota pada awalnya tidak mengetahui masalah sebenarnya.
Salman dikabarkan melakukan ritual menjelang tengah malam yang aneh dan tidak dapat diterima di kuburan tempay dia 'melakukan tugasnya'. Orang-orang kota tidak pernah mengerti mengapa Hang Tuah, pemilik lahan kuburan yang dihormati, membiarkan perilaku yang tidak pantas seperti itu terus berlanjut tepat di bawah hidung mereka. Tetapi hal itu terjadi dan hampir tanpa selama bertahun-tahun kecuali selama masa-masa ketika Salman dipasung di Pucuk.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H