Selama dua hari, para begal berada di desa menikmati perlakuan istimewa. Dipuji-puji dan dibanjiri dengan makanan dan minuman yang berlimpah yang diberikan penduduk desa kepada mereka.
"Kita harus segera berangkat ke Bujung Tenuk. Sudah terlalu banyak kita buang-buang waktu di sini," Janar berkata pada saat makan siang di hari kedua.
"Janar, kau sepertinya tidak menyukai hal-hal yang baik. Bujung Tenuk sudah tidak jauh lagi dari sini. Paling lama satu hari perjalanan lagi. Untuk saat ini, nikmati saja apa yang ada sebelum kita melanjutkan perjalanan," kata Ganbatar sambil berbaring santai di dipan kayu. Seorang gadis pelayan memijit-mijit bahunya.
"Janar benar. Kita harus pergi. Pasukan kerajaan bisa saja datang kapan pun sementara kita membuang-buang waktu di sini," kata Palupi.
"Aku setuju dengan Ganbatar, kita harus beristirahat sebentar dan menikmati apa yang kita dapat di sini selagi masih ada. Entah sampai kapan kita bisa santai seperti ini lagi," kata Ubai. "Si tukang jamu juga masih merawat penduduk.Â
Sangat jarang bertemu dengan ahli ramuan yang murah hati yang mau berbagi ramuannya secara cuma-cuma, jadi biarkan warga mendapat manfaat dari kesempatan unik ini. Mereka pantas mendapatkannya setelah semua yang telah mereka berikan untuk kita."
Janar menggelengkan kepalanya, "Ayo kita lakukan pilihan pakat."
"Tapi resi pandita belum datang," kata Ganbatar. "Bukankah kita harus menunggu sampai dia selesai?"
"Tidak! Kita adalah orang-orang yang diberi tugas yang harus diselesaikan. Peran Resi Umbara hanya untuk menemani kita. Kalau dia ingin tinggal maka itu adalah pilihannya. Dia tidak masuk hitungan sebagai anggota kelompok," teriak Palupi marah.Â
Matanya melotot bergantian menatap Ganbatar dan Ubai, menantang salah satu dari mereka untuk melawannya. Ketika tidak ada dari mereka yang menjawab, dia melanjutkan, "Yang mendukung melanjutkan perjalanan, kepalkan tangan. Dan yang berpikir kita sebaiknya tinggal, buka telapak tangan."
Dia dan Janar mengepalkan tangan, sementara Ganbatar dan Ubai mengulurkan telapak tangan dengan posisi terbuka. Mereka berempat mengalihkan pandangan mereka ke Keti.
Keti mengepalkan tangan. "Kita sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di sini. Jangan membuat alasan untuk main-main."
Seulas senyum mengembang di wajah Palupi. "Kiat semua sepakat kalau begitu. Kita berangkat saat matahari terbenam."
Ganbatar menggerutu. Meraup lebih banyak makanan, dengan penuh semangat dia memasukkan apa yang bisa dia telan ke dalam mulutnya dan mengemas sisanya ke dalam karung bekal. Dia mendongak karenadan melihat rekan-rekannya memperhatikannya dengan geli.
"Kenapa? Badanku jauh lebih besar dari kalian. Aku perlu makan banyak untuk menjaga kekuatanku."
"Tidak ada yang mengatakan apa pun," Palupi menahan tawa.
 "Tidak ada yang mengatakan apa pun," Ganbatar menirukannya sambil mendengus. "Ingat, tidak ada yang boleh minta dariku, karena aku tidak pernah berbagi," katanya sambil memegang sepotong besar talas rebus seperti memegang gada untuk mengancam teman-temannya.
"Aku akan mengemasi barang-barangku," kata Keti sambil berdiri dan berjalan ke rumah Marah Talang.
Sedang berjalan, seorang gadis kecil yang berusia tidak lebih dari sewindu mendekatinya. Gadis itu mengingatkannya pada dirinya dulu sebelum terjun ke dunia hitam candala. Keti menatap bocah yang mendekat. Terbit iba dihatinya, rasa kasihan karena bocah malang itu lahir ketika seorang gila mengenakan mahkota kerajaan.
Gadis kecil itu menatapnya dengan malu-malu, menarik ujung kain penutup pinggangnya.
"Bibi, bolehkah saya mohon pertolongan bibi?"
Keti merendahkan tubuhnya dan berjongkok sehingga dirinya berhadapan muka dengan gadis itu, lalu meletakkan tangannya di pundak si bocah.
"Ada apa?" dia bertanya.
Gadis itu balas menatapnya dan mendadak air matanya mulai berlinang. Tergagap-gagap saat dia bercerita, "Saya ... kami ... saya sedang berjalan dengan ayu saya di hutan. Kami hanya ingin memetik pisang barangan di dalam sana," katanya sambil menunjuk ke arah hutan. "Tapi dua pria besar mengambil buah kami. Mereka menyuruh saya melarikan diri tetapi ayu saya masih bersama mereka".
Kilat kemarahan melintas di mata Keti saat dia berdiri.Â
"Bawa aku ke tempat mereka!"
Gadis kecil itu tersenyum dan matanya berkilauan dengan sejuta harapan. Tanpa meluangkan waktu lagi, gadis itu memberi isyarat pada Keti untuk mengikutinya saat dia berlari ke arah hutan. Keti mengejar gadis itu, kemarahan perlahan-lahan menumpuk di dalam dirinya.Â
Bagi anak naif, saudara perempuannya diganggu oleh orang-orang itu, tetapi Keti tahu bahwa hanya ada satu alasan mengapa mereka masih menahan saudara perempuannya. Kenangan akan ekspresi tanpa ekspresi di wajah saudara perempuannya sendiri saat dia diperkosa melintas di benaknya, meningkatkan kemarahannya.
Sambil berjalan memasuki hutan, Keti memikirkan empat cara yang berbeda untuk memberikan kematian yang sangat menyakitkan bagi para pria itu.Â
Dia menggenggam kerisnya erat-erat di tangan sambil tersenyum membayangkan anggota tubuh para bajingan itu terpisah dari badan.
Dia mengikuti gadis itu dari belakang, jauh masuk ke dalam hutan, tanpa mempedulikan rasa gatal di pipinya yang akibat terkena miang tanaman merambat saat melaju mendahului si bocah.
Gadis itu tiba-tiba berhenti dan Keti ikut berhenti. Matanya jelalatan menjelajahi hutan mencari jiwa-jiwa durjana yang akan dikirimnya ke neraka.
Gadis itu berbalik perlahan, jari-jari kecilnya bermain dengan ujung kain sambil ia menatap jari kakinya yang telanjang dengan gugup.
"Maafkan saya, Bibi," gumamnya.
Di belakang gadis itu, seorang pria terlihat memegang golok di tangannya sambil menyeringai senang saat tangannya yang lain melingkari leher gadis itu. Dia bersiul dan empat pria lain muncul dari tempat persembunyian mereka, menyeringai lebar sambil menjilati bibir, mengurung dan mengepung Keti dari empat penjuru angin.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H