Keti merendahkan tubuhnya dan berjongkok sehingga dirinya berhadapan muka dengan gadis itu, lalu meletakkan tangannya di pundak si bocah.
"Ada apa?" dia bertanya.
Gadis itu balas menatapnya dan mendadak air matanya mulai berlinang. Tergagap-gagap saat dia bercerita, "Saya ... kami ... saya sedang berjalan dengan ayu saya di hutan. Kami hanya ingin memetik pisang barangan di dalam sana," katanya sambil menunjuk ke arah hutan. "Tapi dua pria besar mengambil buah kami. Mereka menyuruh saya melarikan diri tetapi ayu saya masih bersama mereka".
Kilat kemarahan melintas di mata Keti saat dia berdiri.Â
"Bawa aku ke tempat mereka!"
Gadis kecil itu tersenyum dan matanya berkilauan dengan sejuta harapan. Tanpa meluangkan waktu lagi, gadis itu memberi isyarat pada Keti untuk mengikutinya saat dia berlari ke arah hutan. Keti mengejar gadis itu, kemarahan perlahan-lahan menumpuk di dalam dirinya.Â
Bagi anak naif, saudara perempuannya diganggu oleh orang-orang itu, tetapi Keti tahu bahwa hanya ada satu alasan mengapa mereka masih menahan saudara perempuannya. Kenangan akan ekspresi tanpa ekspresi di wajah saudara perempuannya sendiri saat dia diperkosa melintas di benaknya, meningkatkan kemarahannya.
Sambil berjalan memasuki hutan, Keti memikirkan empat cara yang berbeda untuk memberikan kematian yang sangat menyakitkan bagi para pria itu.Â
Dia menggenggam kerisnya erat-erat di tangan sambil tersenyum membayangkan anggota tubuh para bajingan itu terpisah dari badan.
Dia mengikuti gadis itu dari belakang, jauh masuk ke dalam hutan, tanpa mempedulikan rasa gatal di pipinya yang akibat terkena miang tanaman merambat saat melaju mendahului si bocah.
Gadis itu tiba-tiba berhenti dan Keti ikut berhenti. Matanya jelalatan menjelajahi hutan mencari jiwa-jiwa durjana yang akan dikirimnya ke neraka.