Dia dan Janar mengepalkan tangan, sementara Ganbatar dan Ubai mengulurkan telapak tangan dengan posisi terbuka. Mereka berempat mengalihkan pandangan mereka ke Keti.
Keti mengepalkan tangan. "Kita sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di sini. Jangan membuat alasan untuk main-main."
Seulas senyum mengembang di wajah Palupi. "Kiat semua sepakat kalau begitu. Kita berangkat saat matahari terbenam."
Ganbatar menggerutu. Meraup lebih banyak makanan, dengan penuh semangat dia memasukkan apa yang bisa dia telan ke dalam mulutnya dan mengemas sisanya ke dalam karung bekal. Dia mendongak karenadan melihat rekan-rekannya memperhatikannya dengan geli.
"Kenapa? Badanku jauh lebih besar dari kalian. Aku perlu makan banyak untuk menjaga kekuatanku."
"Tidak ada yang mengatakan apa pun," Palupi menahan tawa.
 "Tidak ada yang mengatakan apa pun," Ganbatar menirukannya sambil mendengus. "Ingat, tidak ada yang boleh minta dariku, karena aku tidak pernah berbagi," katanya sambil memegang sepotong besar talas rebus seperti memegang gada untuk mengancam teman-temannya.
"Aku akan mengemasi barang-barangku," kata Keti sambil berdiri dan berjalan ke rumah Marah Talang.
Sedang berjalan, seorang gadis kecil yang berusia tidak lebih dari sewindu mendekatinya. Gadis itu mengingatkannya pada dirinya dulu sebelum terjun ke dunia hitam candala. Keti menatap bocah yang mendekat. Terbit iba dihatinya, rasa kasihan karena bocah malang itu lahir ketika seorang gila mengenakan mahkota kerajaan.
Gadis kecil itu menatapnya dengan malu-malu, menarik ujung kain penutup pinggangnya.
"Bibi, bolehkah saya mohon pertolongan bibi?"