Aku meminta kalian untuk menulis tentang mantan kalian. Lepaskan mereka. Move on. Rasakan kedamaian.
Tahun pertama aku tinggal di sini, Bandung, tidak sebaik yang kuharapkan. Duduk sendirian di apartemen studio, memandang ke luar jendela ke tembok gedung yang suram dan mengasihani diri sendiri. Aku sangat membutuhkan uang dan kepastian bahwa aku benar-benar ahli dalam menulis yang kubawa ke sana.
Untungnya, para dewi seni dan sastra mendengar permohonanku. Setelah berbulan-bulan merasa ditolak, aku menerima surel yang keren banget.
Hei, kami menyukai tulisan Anda, apakah Anda ingin berkontribusi di blog kami? Kami membayar!
Alam semesta kembali menyayangiku, mengembalikan kepercayaan diri yang sangat kubutuhkan (dan suntikan uang tunai) tepat ketika aku  memerlukannya. Penuh harapan, aku segera menjawab, meminta informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya mereka cari. Tanggapan editor mengejutkanku.
Aku suka karyamu tentang mantanmu! balasnya. Apakah ada lagi yang lain?
Aku menggigil. Ini adalah sesuatu yang pernah kudengar sebelumnya. Entah bagaimana, selama beberapa tahun terakhir, aku merasa seperti menjadi Gadis yang Menulis Tentang Mantannya. Melihat surel terbaru ini, aku bertanya-tanya: Apakah ini merupakan jadi diri penulisku?
Ketika aku mengerjakan naskah untuk kumpulan esai pertamaku, aku menambang untuk materi. Menulis beberapa bagian tentang hubungan masa lalu yang menantang bagiku, serta tentang beberapa situasi yang sangat berkesan dan memalukan yang berumur pendek.
Saat kumpulan esaiku selesai, aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak ingin menghabiskan waktuku untuk menulis tentang orang-orang di masa lalu. Melihat apa yang telah kutulis, yang kulihat adalah sejumlah esai tentang cowok-cowok yang menyebalkan, dan meskipun mereka lucu atau terkadang tragis, aku tidak ingin mereka mencemari seluruh bukuku.
Aku ingin tulisanku fokus pada ide dan pengalaman lain dalam hidupku, topik yang ingin kugali lebih dalam, atau apa yang akan ada di pikiranku jika kamu meneleponku pada pukul satu pagi. Perjuangan, kesepian, jazz instrumental tengah malam, salad sayur dan buah yang sempurna.
Aku terdorong untuk menulis tentang cowok-cowok yang pernah mengisi hidupku sebagai bagian dari proses kreatif, tetapi sekarang aku tak lagi butuh mereka. Aku mengirimkan esai tentang mantanku untuk membangun portofolio. Aku tidak meniatkannya untuk dijadikan sebuah buku, jadi tidak ada alasan mengapa aku tidak bisa menerbitkannya satu per satu secara daring.
Ketika esaiku diterbitkan dan aku membagikannya di media sosial, beberapa orang yang kukenal menjapri.
"Aku tidak percaya kamu cukup berani untuk melakukan itu!" seru seorang teman tentang bagian tertentu. "Bagaimana jika dia membacanya?"
Terus? pikirku. Sudah terjadi. Dan aku selalu melakukan yang terbaik untuk mengatakan yang sebenarnya.
Animasi Whatsapp yang paling sering kupakai adalah gambar Diane Keaton menangis di depan laptop. Aku mengirimkannya ke teman-teman sebagai balasan atas pertanyaan seperti, "Apa yang kamu lakukan?" atau "Apa rencanamu weekend nanti?" sebagai humor tentang mengasihani diri sendiri. Gambar berasal dari film klasik Something's Gotta Give, ketika tokoh protagonis wanita yang putus asa menulis drama hit setelah ditolak oleh kekasihnya (diperankan oleh Jack Nicholson).
Meskipun seharusnya romantis untuk menangis di depan laptop ketika merindukan kekasih yang hilang atau sembuh dari patah hati, aku tidak pernah menangis saat menulis tentang mantan.
Ketika kita berpikir tentang seorang gadis yang menulis tentang mantannya, sering diasumsikan bahwa niat penulis adalah balas dendam. Orang-orang tampaknya percaya bahwa tujuan menulis tentang pengalaman itu sama sekali adalah untuk menyalahkan pihak lain secara terang-terangan, mempublikasikan dosa-dosa mereka untuk dilihat dunia. Hal seperti ini muncul di banyak film dan komedi situasi. Namun, esai yang kutulis bukanlah tentang cowok, melainkan tentang bagaimana aku memahami diriku sendiri dalam konteks hubunganku dengan mereka. Di mana posisiku dalam perjalanan hidup yang gila ini ketika bertemu mereka?
Ketika aku menulis bagaimana hubungan itu berakhir, aku akhirnya dapat melihat tidak hanya perilaku yang tidak akan kutoleransi lagi dari orang lain, tetapi juga, yang paling penting, perilaku yang tidak akan aku toleransi lagi dari diriku sendiri.
Aku berharap menulis tentang mantan sama terapeutiknya dengan animasi bisu Diane Keaton menangis, tetapi, sayangnya, aku menulis esai, dan aku tidak mungkin membunuh mantan begitu saja seperti drama fiksi yang ditulis Diane Keaton dalam film tersebut.
Setiap percakapan, pertemuan, dan pesan merayu masuk ke halaman, aku melihat, lebih sering daripada tidak, bahwa aku yang salah.
Ketika aku menulis tentang cinta yang gagal, aku menulis tentang diriku di momen-momen paling putus asa, memalukan, dan rentan. Saat-saat dalam hidupku ini sering kali dipenuhi dengan kesedihan, keputusasaan, dan tenggelam karena seseorang yang tidak membalas perasaanku, atau pesanku. Tentu, aku sedikit membalas dendam dengan menulis secara terang-terangan, tetapi aku kurang tertarik pada bagaimana mantan ini menjadi kejam daripada mengapa aku ada di sana dan mengapa aku bertahan dengan itu.
Aku ingin yakin bahwa itulah yang membuat esai-esai itu terhubung dengan begitu banyak pembaca dan mengapa aku terus diminta untuk menulisnya lagi.
Dan kemudian, tiba-tiba, cerita yang kupikir benar menjadi sedikit kabur, tetapi juga lebih jelas. Aku menjadi kurang yakin pada diri sendiri. Mengapa aku membiarkan itu berlangsung begitu lama? Kenapa aku tidak move on saja?
Setelah bertahun-tahun menulis esai tentang mantan, aku tetap saja diminta untuk menulis lebih banyak tentang cowok di masa lalu, para lelaki yang benar-benar tidak ingin kuingat lagi.
Meskipun, tidak ada yang menghentikanku di jalan dan berseru bahwa mereka mengenaliku dari foto profilku.
Bandung, 13 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H