Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 7)

9 Agustus 2022   18:17 Diperbarui: 9 Agustus 2022   18:25 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Bagaimana sekolah kalian hari ini?" tanya Mama Rano sambil berjalan keluar dari selasar. Wajahnya tampak berseri-seri. Senyuman yang mempertontonkan gigi putihnya tak menyembunyikan celah sempit di tengah-tengah di antara gigi seri atas. Dia memeluk anaknya satu per satu.

Rano dan Suti balas tersenyum. "Menyenangkan, Ma. Aku mendapat teman baru hari ini," kata Suti ceria.

"Bagus, Sayang.  Bagaimana denganmu, Abang Rano?" tanyanya. Pandangan mata perempuan bertubuh subur itu teralih dari wajah putranya oleh bunyi gemerisik di pohon kersen yang tumbuh liar. Seekor burung gereja terbang dari dahan yang rendah dan bertengger di atas pohon lainnya.

"Mama, meski aku sudah berusaha yang terbaik, tapi berteman enggak bisa dan enggak boleh dipaksakan. Aku rasa aku enggak akan punya teman di sekolah itu, paling enggak untuk sekarang. Anak-anak sini sama sekali enggak ramah," kata Rano.

"Kok bisa? Jangan-jangan Abang yang enggak ramah sama mereka," ejek Suti sambil tersenyum lebar.

"Mungkin mereka takut dengan karisma kamu," Mamanya tertawa. "Masuklah dan kita makan siang dengan tel---"

Suti menyela. "Apa artinya karisma?"

Mama terkekeh. "Artinya pesona, sayang. Abang Rano punya pesona yang membuat orang lain takut. Makanya mereka tidak mau dekat-dekat dia."

Suti mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak.

"Mama senang anak Mama suka bertanya. Ada peribahasa, Malu bertanya sesat di jalan. Tapi jangan juga terlalu ingin tahu," kata Mama, menundukkan wajahnya dan menatap Suti.

Suti tersenyum.

"Karena dia enggak tahu apa-apa. Orang bodoh yang enggak tahu apa-apa harus selalu banyak bertanya," kata Rano sambil menjulurkan lidah.

Suti menyipitkan mata dan mendesis marah.

"Jangan pedulikan Abangmu. Dia suka menggoda tandanya sayang," kata Mama dan mengelus kepala mereka berdua dengan lembut.

Mereka masuk ke dalam dan menuju meja makan tempat dia meletakkan nasi dan lauk. Rano dan Suti makan perlahan-lahan dalam diam. Setiap suapan nasi diiringi dengan seteguk air minum. Hanya terdengar suara dentingan sendok beradu dengan piring serta bunyi air ditelan.

"Mama mendapatkan tawaran jadi guru sementara di sekolah swasta dekat sini. Gajinya sangat kecil tapi setidaknya Mama bekerja," ucap Mama memcahkan kesunyian.

Rano hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun. Segumpal nasi sangkut di tenggorokan. Memegang cangkir plastik berisi air, dia meletakkannya ke mulut dan buru-buru mereguknya dengan berbunyi nyaring. Air sampai menetes dari sudut bibirnya. Setelah air di cangkirnya habis, Rano menepuk dadanya lega. Puas, dia bersendawa keras.

"Hei. Jangan bunuh diri dulu. Makan saja pelan-pelan. Makanannya tidak akan lari ke mana-mana," kata Suti. Alisnya berkerut dan pipinya cemberut.

"Jangan ikut campur," jawab Rano.

"Adikmu hanya mengingatkanmu, Abang," Mama memperingatkan.

Suti tersenyum dan menyipitkan mata lagi.

***

Rano dan Suti berbaring di tempat tidur dan Mama menyelimuti mereka. Setelah keduanya terlelap, dia keluar kamar untuk menunggu suaminya yang belum kembali dari pekerjaannya.

Sejak suaminya akhirnya mendapatkan pekerjaan, lelaki itu tak pernah pulang di bawah jam sebelas. Pabrik tutup jam delapan malam, sesuai dengan yang diceritakan suaminya. Tapi kemacetan lalu lintas dari kota ke kompleks menghabiskan setidaknya dua jam waktu perjalanan pada malam yang tidak terlalu sibuk.

Mama Rano menggosok-gosok matanya untuk menghilangkan kantuk yang menumpuk di pelupuk. Dia melirik jam dinding. 21:15. Dengan sigap dia mengangkat pantatnya dan tubuhnya bergoyang-goyang dibawa berjalan menuju jantung rusunawa.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun