"Jangan khawatir, kita akan menemukan lebih banyak lagi dalam perjalanan nanti." Palupi tersenyum hambar.
Janar menggelengkan kepalanya sambil dia menyeka darah dari pedangnya, "Kalian benar-benar aneh. Lebih aneh lagi ternyata kita bermitra."
Warga desa menusuk-nusuk prajurit yang terikat dengan ranting. Anak-anak kecil tak mau kehilangan kesempatan, bersorak-sorai sambil melemparkan batu kerikil ke wajah musuh desa mereka.
"Kalian melawan titah baginda raja. Ini pelanggaran terhadap mahkota. Lepaskan kami segera dan kami akan membuat kematian kalian dengan cepat tanpa harus menderita berlama-lama!" kata seorang prajurit.
Resi Umbara membungkuk ke arah pria itu dan menampar wajahnya, "Kalian pikir sehebat apa Baginda Raja dibandingkan para dewa?"
"Orang tua, kamu tidak mengerti. Raja bermaksud baik. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rakyat. Mengorbankan beberapa gelintir untuk menyelamatkan lebih banyak agi rakyat. Itu adalah persembahan kepada para dewa dan kita harus mematuhinya," kata prajurit itu sambil mendelik.
"Kehendak para dewa," Resi Umbara meludahi pria itu, "Raja mengacaukan kehendak para dewa dengan kegilaannya sendiri".
"Minggir! Minggir!" sebuah suara yang dalam terdengar dari arah utara alun-alun. Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian mewah, mengangkat kain tenun prada di atas bahunya. Dua orang kuli mengekor di belakangnya membawa keranjang penuh perhiasan dan kain tenun berwarna ungu.
Pria itu mendekati para begal dan melontarkan senyum seperti dipaksakan. "Saya Marah Talang, satu-satunya saudagar di desa ini. Saya juga memiliki sanggar tenun kain yang terkenal sampai Champa," bualnya. "Sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan penduduk desa, dan juga sanggar saya saya dari para candala ini." Dia menunjuk para prajurit yang dibelenggu dengan tampang jijik.
Janar melangkah maju, "Terima kasih atas hadiahmu tapi---"
Ganbatar mendorongnya ke samping dan terbatuk. "Sebagai pemimpin rombongan ini---"