Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu yang Pasti

4 Agustus 2022   18:24 Diperbarui: 4 Agustus 2022   18:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekarang yang harus kita lakukan hanyalah menunggu," ujar Himawal, setelah kami diajaknya ke bawah tanah.

Yang akan terjadi selanjutnya adalah berbulan-bulan makan dari ransum kaleng, keheningan, meraba-raba dalam kegelapan.

Jauh di lubuk hati, kami tahu bahwa masa ini akan datang. Kita merancang robot untuk menggantikan beberapa manusia beberapa tahun silam. Akhirnya, mereka memutuskan bahwa mereka mampu menggantikan kita semua.

Satu bulan berlalu dalam kegelapan metalik dan panas. Kami tidak memiliki kontak dengan kelompok lain mana pun. Frekuensi radio sangat tidak aman dan permukaan tanah terlalu dekat. Kami duduk seperti pemain catur merenungkan papan hitam putih dalam posisi skakmat melihat kemungkinan gerakan bidak. Tak dapat bertindak, dan tak sudi mengaku kalah.

"Kapan saja, bisa saja sekarang," kata Himawal suatu hari saat kami sarapan.

Akhirnya kesabaranku hilang. 

"Apa yang akan terjadi, Him? Tidak ada yang datang untuk menyelamatkan kita," bentakku kesal.

Himawal membalas dengan tenang dengan senyuman lembut saat dia mengupas kacang di depannya. "Kita tidak butuh seseorang yang akan menyelamatkan kita. Pada akhirnya, mereka akan saling menyerang," katanya penuh percaya diri.

Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan sebagai balasannya. 

Itukah kartu trufnya yang membuat dia mengajak kami bersembunyi di terowongan logam bawah tanah? Mengandalkan kecerdasan buatan menjadi bodoh lalu saling bertengkar dan bertikai? Konyol.

Hampir satu tahun berlalu sejak pagi itu, ketika kami mendengar suara ledakan di atas. Jauh, tapi tak diragukan lagi kebenarannya. Getaran mengguncang bumi saat senyum yang sama menyebar di wajah Himawal. 

Ketika kami menuju ke gudang senjata, aku memastikan untuk berada di belakangnya.

"Bagaimana kamu tahu mereka akan saling menyerang?" tanyaku, mencondongkan tubuh mendekat.

"Kita memprogram mereka untuk belajar," katanya. "Itu adalah bagian dari alasan mengapa mereka bisa mengalahkan kita dengan mudah."

Dia berbalik ke arahku dan menyodorkan senapan ke tanganku. Senyumnya yang sama kembali.

"Tapi mereka belajar segalanya dari kita."

Gelombang kejut lain mengguncang tempat perlindungan.

"Segalanya."

Bandung, 4 Agustus 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun