Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut dan Serakah

20 Mei 2022   22:00 Diperbarui: 20 Mei 2022   22:06 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENGATASI RASA TAKUT

 Wak Kendi adalah seorang lelaki penakut. Tumbuh sebagai anak kesepuluh dari dua belas bersaudara dari satu ibu ditambah satu saudara tiri anak haram kakek, Wak Kendi selalu menjadi anak yang tak pernah beruntung dalam hidupnya. Dari cara dia bercerita kepadaku, masa kecil berupa hasil pengasuhan kakak-kakaknya, yang juga merupakan kakak-kakak ibuku si bungsu.

Pada saat Wak Kendi berhasil masuk universitas, dia telah mengalami berbagai hinaan dan perundungan sepanjang hidup melalui orang-orang yang dia anggap sebagai keluarga. Untuk menempatkan dirinya di universitas, ia menahan untuk menjual bahan makanan selama liburan untuk biaya kuliah dan mengandalkan kebaikan sahabatnya dengan siapa dia menumpang untuk makan.

Pekerjaan pertamanya setelah universitas diperoleh dengan bantuan Nyai Sita, ibu istrinya, Wak Dena. Dan selama beberapa bulan pertama pernikahan mereka, kehidupannya didukung oleh penghasilan istrinya yang tidak seberapa sebagai asisten sekretaris sebuah dinas pemerintah.

Meskipun latar belakang ini mungkin tampak berliku-liku, justru sebanarnya memberikan latar belakang apa dan siapa sosok Wak Kendi. Pada saat dia memiliki uang sendiri, dia telah menyaksikan banyak teman sebaya yang tumbuh bersamanya yang dibesarkan dengan keamanan finansial dan warisan "tidak banyak." Sementara dia, yang (dalam pikirannya) berhasil mengangkat dirinya sendiri dengan menghindari jebakan pendidikan tinggi, kemudian menjadi agak sukses. Dan ini berikut pola pengasuhan yang didapatnya, membentuk pandangan dunianya dalam banyak cara.

Misalnya, di rumahnya, Wak Kendi saja yang memiliki lebih dari satu pasang sepatu. Sementara semua penghuni yang lain, termasuk Wak Dena, dapat menghitung banyak sepatu yang mereka miliki dengan satu jari. Wak Kendi punya lemari sendiri yang dikhususkan untuk semua sepatunya. Setiap pagi, dia meminta agar sepatunya untuk hari itu disemir oleh salah satu dari kami, dan semir sepatu adalah barang yang tidak pernah kurang di rumah kami.

Lebih penting lagi, latar belakang ini membentuk betapa nyamannya dia memerlakukan anak-anaknya. Permintaan buku pelajaran dari Yuk Kemi ditanggapi dengan jawaban, "Apa yang dilakukan anak-anak orang miskin?"

Ini adalah kalimat pengulangan yang sering diucapkannya. Ketika dimintai uang untuk membeli pasta gigi khusus yang diperlukan Elan anak keduanya karena gigi sensitif, kekhawatirannya adalah bahwa membutuhkan pasta gigi khusus bertentangan dengan kemampuan Elan setelah nanti tamat SMA. Apa yang akan terjadi ketika Elan harus menyelesaikan universitas dan memiliki pekerjaan yang tidak digaji dengan layak?

Kekhawatiran yang sama muncul ketika Wak Dena membicarakan tentang sepeda motor ketika Elan berusia 19 tahun. "Apa yang akan dipikirkan para dosen? Bagaimana mungkin dia yang umurnya 19 tahun, mengatakan ini 'motorku'?"

Ketika Elan ingin masuk universitas tetapi harus membayar biaya tambahan untuk jurusan yang dia inginkan, tanggapannya adalah sebaiknya Elan tinggal di rumah selama satu tahun dan mengulang ujian masuk. Lagi pula, apa yang dilakukan anak-anak orang miskin?

Karena Elan adalah juara kelas, Wak Dena mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini dan berjuang untuk memasukkan Elan ke dalam jurusan pilihannya, meskipun gaji Wak Dena jauh lebih sedikit daripada Wak Kendi saat itu.

Ketakutan terbesar Wak Kendi yang lain terkait dengan diabaikan oleh anak-anaknya di usia tua. Banyak investasi yang dia lakukan dan keinginannya untuk menyimpan uang berasal dari ketakutan bahwa seperti ayahnya dan ayah lain yang dia kenal, anak-anaknya mungkin meninggalkannya di usia tuanya dan dia harus berjuang sendiri. Sepertinya tidak pernah terpikir olehnya bahwa alasan ayah-ayah itu ditinggalkan adalah karena mereka tidak pernah membangun hubungan dengan anak-anak mereka sendiri.

Mungkin ketakutan ini, atau ketakutan lain yang tidak kuketahui, mengakibatkan dia pulang di rumah pada jam-jam yang sangat aneh, dan hampir tidak menghabiskan waktu di rumah pada akhir pekan, karena dia sibuk memastikan semua bisnisnya lancar. Untuk menjaga bisnisnya tetap berjalan, dia meminjam sejumlah besar uang yang tidak selalu bisa dia bayar. Terlalu sering, kreditur akan muncul di rumahnya, tiba-tiba, dan Wak Kendi menghujani kutukan kepada siapa pun yang cukup malang yang membukakan pintu gerbang.

Gaya hidup Wak Kendi membuat keluarganya hampir tidak pernah melihatnya selama seminggu. Pada saat dia tiba di rumah, kebanyakan dari anak-anaknya sudah tidur. Itu juga berarti janji untuk jalan-jalan bersama si bungsu Tanti berakhir dengan frustrasi dan/atau air mata karena bapaknya datang begitu terlambat sehingga acara jalan-jalan menjadi tidak dimulai, atau terlalu frustrasi untuk benar-benar menikmati perjalanan.

Ironisnya di sini adalah Wak Kendi meninggal pada usia 52 tahun. Meskipun dia sangat berhati-hati untuk menyisihkan uang untuk hari tuanya untuk memastikan dia dirawat, dia meninggal sebelum uang itu bisa bermanfaat baginya. Ironi yang lebih besar lagi adalah bahwa tidak seorang pun dari anak-anaknya hadir di sisinya ketika dia meninggal, sebuah ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Akhir yang dimulai dengan rasa takut.

Dibesarkan dalam keluarga abangan, pada saat usianya empat puluhan, dia memiliki hubungan yang lemah dengan Tuhan, memilih untuk memprioritaskan bisnisnya setiap saat termasuk akhir pekan. Dia berteman dengan Kiai Suhud, yang merupakan "imam masjid" yang merupakan sahabat masa kecilnya, dan Kiai Suhud dan istrinya sering menjadi tamu di rumahnya. Namun, di usia pertengahan empat puluhan, dia mengunjungi tempat yang hanya bisa disebut sebagai "masjid" (tetapi bukan). Berkat ajakan teman masa kecilnya itu, kunjungan ini memulai serangkaian peristiwa malang yang akhirnya menyebabkan kemundurannya.

Terlepas dari sifatnya yang kedekut, Wak Kendi adalah pria yang murah hati di luar rumah. Imam masjid yang sering mengunjungi rumahnya, misalnya, mendapatkan manfaat dari atap seluruh rumah barunya yang dibiayai secara gratis oleh Wak Kendi.

Setelah menemukan kemurahan hatinya dengan uang, "masjid" baru ini melakukan apa yang dilakukan orang-orang cerdas ketika mereka menemukan cara untuk mendapatkan akses gratis ke uang: mereka menempel dan menyedot.

Segera saja Wak Kendi hidup dengan ketakutan yang berbeda. Kelompok baru ini, sekarang dalam daftar gajinya, akan sering meneleponnya tentang beberapa kemalangan yang akan segera terjadi, dan apa pun yang dia lakukan pada saat itu hanya akan dapat dihentikan dengan doa intensif pada saat itu.

Tidak memiliki latar belakang agama yang kuat, Wak Kendi ditahbiskan oleh kelompok ini sebagai kiai, fakta yang baru diketahui Wak Dena setelah melihat foto suaminya mengenakan sorban, kafiyeh, dikelilingi oleh sekelompok orang asing.

Maka dimulailah sebuah drama, dengan Wak Dena akhirnya dituduh lakinya yang tahu tentang "rencana spiritual" yang dibuat Wak Dena untuk kematiannya. Mengetahui hal ini, meski tengah merawat Wak Kendi yang sedang sakit serius, Wak Dena setuju untuk tinggal dengan kerabat, karena takut dituduh sebagai penyebab jika Wak Kendi meninggal.

Pada saat kematiannya, keluarga belum melihat Wak Kendi selama beberapa bulan. Ketidakhadiran keluarga berarti tidak ada yang peduli, maka kami tidak diberitahu tentang kematiannya sampai kami melihat pengumuman di surat kabar atas permintaan seorang temannya. Elan, sebagai anaknya, selalu kesal ketika bapaknya datang terlambat, setelah berjanji untuk membawa dia bersaudara ke satu tempat atau yang lain. Tanti membenci semua argumen yang harus dia buat tentang mengapa dia membutuhkan uang. Sekarang kami semua menyadari Wak Kendi hanyalah seorang pria yang penakut.

Bahwa rasa takut menjadi sangat menyita mungkin di situ letak masalahnya. Bertahun-tahun setelah kematiannya, anak-anaknya masih berjuang untuk menyeimbangkan citra tentang dia sebagai orang yang membawa mereka piknik ke pantai dan ke restoran mewah, dengan citra orang yang begitu takut kehilangan uang yang dia habiskan bertahun-tahun untuk mencoba mengumpulkannya.

Sebagai orang dewasa, aku sering bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita menyeimbangkan ketakutan yang dikembangkan dari pengalaman hidup kita dengan kehidupan yang kita bayangkan untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang kita sayangi?

Bandung, 20 Mei 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun