Mak Linda tertawa. "Jangan ganggu si bocah, Tin. Biarkan saja dia."
Rano menghentakkan lengannya, melepaskan cengkeraman perempuan tetangganya itu sambil mendesis. Dia mencibir dan masuk ke dalam rumah.
"Terserah tampang lu dibikin jelek kayak tai kotok gitu, bocah. Enggak ngaruh buat gue," kata Bini sambil bertepuk tangan.Â
Keduanya tertawa dan berjalan ke pusat rusunawa tempat orang-orang melakukan berbagai kegiatan ekonomi.
"Hai, Mak Linda! Bini! Mau ke mana?" sapa seorang pria yang duduk di kursi panjang di depan sebuah toko yang dibangun dari seng sisa proyek. Bini menikah beberapa tahun yang lalu dengan salah seorang bos preman rusunawa, dan orang-orang memanggilnya Bini seperti panggilan si bos untuk istrinya.
Bini menyeringai masam pada pria itu, seorang pemabuk. "Linggis, ngapain aja lu?" Mak Linda menyapanya.
Bini melambaikan tangan. "Kalau lu mau tetap disini baik-baikin orang yang kagak guna itu, gue jalan duluan," ucapnya dan mempercepat langkahnya meninggalkan Mak Linda. Linggis, begitu julukan si pemabuk, terhuyung-huyung perlahan dengan botol kecil berisi minuman beralkohol di tangannya, sambil menarik celananya yang melorot memamerkan celana dalam yang dulunya putih tetapi telah berubah menjadi cokelat karena kotor.
"Gue nyapa si Bini bukan berarti gue demen sama dia. Makanya dulu gue biarin si Tumpang yang dapetin, biar dia yang ngatur," ejek Linggis dan melambaikan tangannya.
Mak Linda tertawa dan berjalan menyusul Bini yang bolak-balik berteriak memanggil atau dia akan pergi meninggalkannya.
"Eh, Linggis! Enggak baik ngomong gitu. Dia udah jadi bini si Tumpang," seseorang mengingatkannya.
"Alah, sama aja. Sekali pelacur tetap pelacur." Linggis mengacungkan telunjuknya dan mencoba kembali duduk, tapi jatuh terjengkang di lantai.Â
Orang-orang tertawa terbahak-bahak.
BERSAMBUNG