Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesuatu yang Baru

2 April 2022   10:25 Diperbarui: 2 April 2022   10:30 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
insight.kontan.co.id

Bzzz.

Mariam berusaha untuk tidak menoleh ke ponselnya yang bergetar di samping papan nama kayu terukir nama Nizam Rosyid. Karena tiga tahun di bank terkutuk yang sama dan mereka tidak memberi Mariam mejanya sendiri.

"Kamu Nizam?" pelanggan acak tertawa sambil mencomot permen gratis.

Bzzz.

Lagi-lagi pesan masuk.

Kami baru mendengar, jendela notifikasi muncul di atas layar ponsel yang terkunci. Segera.

Mariam merengut ke arah ponsel, senang karena kantor sebentar lagi tutup. Dia belum tidur sepanjang malam, dan sekarang dia merasa seperti tumpukan cucian lembap yang merosot di kursi empuk Nizam. Mungkin mereka tidak tepat waktu. Dia tidak ingin berbicara, mungkin tampangnya terlihat lebih parah dari yang dia rasakan.

Setelah berhasil putus dengan-oke, dicampakkan oleh-Bram satu hari sebelumnya, dia tahu berita itu tidak akan lama menyebar. Bram mengatakan kepadanya bahwa dia membutuhkan sesuatu yang baru. Tapi mungkin sudah terjadi sebelumnya. Apakah dia mengenalnya lewat Wesing atau Tiktok? Bagus.

Bzzz.

"Bagus," gumam Mariam, mengabaikan pesan yang menumpuk saat seorang pria masuk ke kantor.

Siapa pun yang mengunjungi bank mereka pada hari Meugang, merupakan semacam bencana. Ampun ya Allah, aku sedang tidak mood.

Saat dia mencengkeram telepon seolah-olah menerima panggilan, pria itu memandangi wajahnya yang lelah dan sembap lalu berbalik untuk berbicara dengan May.

Mariam tenggelam dalam keputusasaannya.

Setidaknya ini adalah hari kerja yang singkat. Bahkan bukan karena Meugang-bank tidak peduli tentang itu-tetapi karena ini juga hari Jumat. Hanya keberuntungannya. Hari yang sempurna untuk belanja dan masak-masak dan inilah dia-

Lagu "Puasa" terdengar dari konter. Suara bergelembung itu tidak mengingatkan banyak hal seelain kenangan yang menyakitkan. Maryam merasa gamang di setiap nada yang berdenting.

Nyak dan Bapaknya tidak menghabiskan banyak waktu bersama kecuali Ramadan tahun 2007. Sekarang, lagu itu mengikutinya seperti kutukan, satu-satunya lagu yang ditakdirkan untuk tidak pernah berkurang popularitasnya.

Dia yakin jika Kris Dayanti pergi ke surga dan merekam duet dengan malaikat sungguhan, publik masih lebih suka lagu "Puasa" Bimbo. Maryam bahkan bersumpah dia tidak akan pernah berhubungan intim pada bulan Ramadan, jika hanya untuk memastikan anak pertamanya tidak diberi nama Acil dan dikuntit oleh "Marhaban" yang mengerikan selama seratus tahun. Ternyata, sejak mereka menikah dua tahun lalu, Bram tidak menghormati janji Ramadan-nya. "Kau terlalu cantik untuk menahanku," dia selalu berkata. Sebuah lubang menutup di dalam dirinya.

Suara satpam mengucapkan 'selamat datang' yang biasa melenting di pintu kaca saat dua teman lamanya menerobos masuk.

"Hei," sapa Sarah, menghentakkan sepatu botnya di atas karpet yang bertuliskan "Butuh Kredit untuk Haji?"

Aisyah hanya mengangguk. 

Di balik pelindung kaca setinggi bahu, May melotot. Mariam bisa melihatnya meraih gagang telepon yang berat dengan kabel berpilin, peninggalan era ketika bank mempekerjakan orang-orang yang peduli. Orang-orang seperti May. Bagus. Adukan ke siapa pun yang kamu suka, May. Kamu tidak dapat mengakhiri ini lebih dari yang aku inginkan.

Sarah menarik kursi, matanya tertuju pada papan nama Nizam untuk sesaat. "Jadi, aku udah dengar."

"Terima kasih, tidak apa-apa." Mariam bertanya-tanya apakah mengusir kedua sahabatnya itu bisa diterima secara sosial. Bram bukan hanya seorang suami baginya, dia telah menjadi segalanya. Keduanya tidak akan mengerti itu.

"Hei, jangan sedih," tambah Aisyah, menatap lukisan abstrak yang berjudul Makna Ramadan di dinding

"Dia tidak layak untukmu. Aku selalu berpikir begitu."

Yah, persetan dengan itu, Aisyah.

"Kau akan ikut, kan?" dia melanjutkan. "Kita akan pergi ke kafe Hambra. Khusus kita-kita."

Pergilah bersama kami para jomlo, koreksi Mariah.

"Yah, pikirkanlah." Kata Sarah sambil memaksakan senyum. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kalian berdua selalu bersama."

Tanpa peringatan, lampu meredup, May menyunggingkan seringai puas pada mereka dari belakang konter. "Sudah waktunya tutup."

Memangnya aku peduli. Apakah dia pikir aku ingin tinggal di sini? Pakai otakmu, May.

"Kita kumpul malam ini?"

"Mungkin." Dia mengangkat bahu. Untuk sesaat, dia pikir mereka akan memaksanya, tetapi tatapan menyeramkan May menyeberang ruangan yang gelap sudah cukup untuk mengusir mereka.

Dalam kesunyian, Mariah mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan lambat menuju mobil tuanya, melindungi matanya dari pantulan sinar matahari yang rendah dari atap seng kios rokok di seberang jalan.

Bzzz.

Dtg y k hambra dng ai hrs dtg

"Sebodo," hardiknya.

Memutar kunci kontak, mesinnya tergagap. Sampai kemudian berhasil menyala dengan letusan knalpot, lalu mobilnya keluar dari tempat parkir yang berdebu dan terseok-seok melewati persimpangan.

Menendang pintu hingga tertutup dan meninggalkan kunci dan tas di meja kamar kontrakannya, Mariam ambruk ke atas kasur. Ketika dia bangun, pola sarung bantal yang kusut membekas di pipinya. Dia mengamati langit malam melalui jendela, mencari bulan segaris tapi gagal menemukannya. 

Dia menyeret lengannya untuk menyalakan radio jam, hanya musik religi biasa yang didaur ulang dengan gaya berlebihan. Meraba-raba mencari ponselnya, mencolokkannya ke pengisi daya.

1 Ramadan menyambutnya. 

Sebulan lagi Idul Fitri. Dia merindukan semuanya. Buka bareng. Mudik. Halal bihalal. Bagus.

Setidaknya dia tidak perlu bekerja selama akhir pekan.

Berguling telentang, dia memikirkan bank tempatnya bekerja. Tentang Bram. Mungkin seharusnya memang begini. Masa lalu telah lewat.

Bzzz.

Berguling kembali, dia mengetuk layar ponsel. Daftar pesan menyambutnya, dari 'dtg di tggu', 'telpn balik', sampai mendadak dia diam membeku, melihat pesan dari Bram. 

Kita perlu bicara.

Sambil tersenyum, Mariam meletakkan telepon dan bangkit untuk membuat kopi. Arabika gayo kental hitam pekat.

Bayi perempuan. 

Dia dan Bram membutuhkan sesuatu yang baru.

Dia membalas pesan.

Sebenarnya, aku yakin kita sudah melakukannya.

Bandung, 2 April 2022

Keterangan:

*Meugang (makmeugang): tradisi di Aceh di mana sehari sebelum Ramadan memasak makanan daging seperti gulai rendang atau sie reuboh (daging rebus) untuk persiapan puasa Ramadan.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun